Sabtu, 01 Januari 2011

Manajemen waktu ulama salaf

Ibnul Qayyim berkata,” Tahun adalah batang pohon, bulan-bulan adalah dahannya. Hari-hari adalah ranting rantingnya. Jam-jam adalah daun-daunnya. Dan nafas nafas adalah buah buahnya. Barangsiapa nafas-nafasnya untuk ketaatan, maka buah pohonnya adalah baik. Dan barangsiapa nafas-nafasnya untuk kemaksiatan, maka buahnya adalah hanzhal (buah terpahit). Musim panennya adalah hari pembalasan. Pada saat panen itulah akan jelas mana buah yang manis dan mana buah yang pahit. Kira kira bagaimana buah dari umur kita manis atau pahit?”

Untuk menjawab pertanyaan Ibnul Qayyim, marilah kita bertamasya ke “kebun kebun” ulama salaf (zaman dulu) dan memetik buah-buahan aneka warna dan sedap rasa dari pohon-pohon rindang nan hijau elok dipandang mata. Ulama salaf telah mewariskan khazanah ilmu pengetahuan dan teladan yang mencengangkan dunia. Salafush shalih berhasil menorehkan contoh mengagumkan dalam memanfaatkan detik detik umur dalam setiap hembusan nafas untuk amal kebajikan.

Tradisi Belajar Ulama Salaf

Membaca adalah kebiasaan para ulama dan orang orang shalih bahkan ketika mereka menghadiri berbagai walimah dan pertemuan. Al-Fath bin Khaqan selalu membawa kitab (buku) di saku bajunya. Apabila dia meninggalkan majlis untuk shalat atau kencing, dia mengeluarkan kitab dan membacanya sambil berjalan hingga dia sampai di tempat tujuan. Kemudian dia melakukan hal yang sama pada saat dia kembali kemajlisnya.

Tsa’lab (seorang imam qira’ah) tidak pernah berpisah dari kitabnya. Apabila dia diundang kesebuah walimah, dia mensyaratkan agar diletakkan tempat selebar kulit domba sebagai tempat kitab yang akan dibacanya. An-Nadhr bin Syumail berkata, “seseorang tidak akan bisa merasakan nikmatnya belajar, sampai dia lapar dan melupakan laparnya.”

Beberapa orang berkata kepada Abdullah bin Mubarak “Ketika engkau telah menunaikan shalat, mengapa engkau tidak duduk bersama kami? Dia menjawab, “Saya pergi untuk duduk bersama para sahabat dan tabi’in”. Mereka bertanya, “dimana mereka?”. Dia menjawab, “Saya pergi lalu membaca kitab kitab, maka saya mengetahui amal amal dan keteladanan mereka. Apa yang bisa saya lakukan bersama kalian? Sementara kalian hanya duduk membicarakan aib orang lain.”



Abdullah bin Abdul Azis Al-Umairi sering menyendiri di kuburan dengan membawa kitab (buku) untuk dibaca. Dia ditanya tentang itu, diapun menjawab, “Tidak ada nasihat yang lebih mendalam daripada kuburan. Tidak ada teman yang lebih baik daripada kitab. Dan tidak ada yang lebih menjamin keselamatan daripada kesendirian.” Ibn Asakir, selama 40 tahun tidak pernah menyibukkan diri kecuali dengan tasmi’ (mengulang hafalan hafalannya), mengumpulkan, menulis dan menyusun ilmu sampai pada waktu pergi buang hajat atau sambil berjalan.

Seorang dokter mendatangi Abu Bakar al-Anbari dalam keadaan sakit parah. Dokter melihat urine Abu bakar, kemudian berkata, “Anda telah melakukan (sewaktu mesih sehat dan kuat) sesuatu yang tidak dilakukan oleh siapapun.” Lalu dokter menemui keluarganya dan berkata kepada mereka, “hampir tidak ada harapan (dokter pesimis terhadap kesembuhan penyakitnya).” Lalu keluarganya menemui Abu Bakar dan menyampaikan ucapan dokter kepadanya dan bertanya, “Apa yang dahulu anda lakukan?” Abu Bakar menjawab,” Saya menelaah dan membaca setiap minggu sepuluh ribu lembar.” Masya Allah, semangat yang begitu membara.

Seseorang bertanya kepada Imam Syafi’i, “Bagaimana semangat anda dalam menuntut ilmu?. Beliau menjawab, “Ketika mendengar ilmu yang belum pernah saya dapatkan, seakan seluruh tubuh saya mempunyai telinga untuk mendengarnya.” “Bagaimana kesungguhan anda dalam mencari ilmu?”. Beliau menjawab, “Seperti seorang ibu yang mencari anak semata wayang yang hilang entah kemana.”

Majduddin bin Taimiyah apabila masuk WC, berkata kepada kepada orang di sekitarnya“Bacalah kitab ini untukku, keraskanlah suaramu sehingga aku mendengarnya.” Hal ini dia lakukan karena ingin menjaga waktu buang hajatnya tidak sia-sia. Ahmad bin Ali bertanya kepada Abdurrahman bin Abu Hatim Ar-Razi, “Apa penyebab anda banyak mendengar hadits dari bapakmu dan anda banyak bertanya kepadanya?. Dia menjawab,”Mungkin karena ketika dia makan, saya belajar hadits kepadanya. Ketika dia berjalan saya belajar kepadanya. Ketika dia buang hajat, saya belajar kepadanya dan ketika dia masuk rumah mencari sesuatu, saya belajar kepadanya.” Inilah gairah membara yang membuahkan karya monumental Imam Abdurrahman bin Abu Hatim “Aljarh wat ta’dil” dalam 9 jilid besar dan “Al-Musnad” dalam seribu juz (kurang lebih 20 ribu lembar).

Ibn ‘Uqail Al-Hambali berkata, “Tidak halal bagiku untuk menyia-nyiakan sesaat saja dari umurku, sehingga apabila lisanku telah lelah membaca dan berdiskusi, mataku lelah membaca, maka aku menggunakan pikiranku dalam keadaan beristirahat (berbaring diatas tempat tidur). Aku tidak berdiri, kecuali telah terlintas di benakku apa yang akan aku tulis. Dan aku mendapati kesungguhanku belajar

Bahkan kesungguhan Imam Ibn Uqail dalam menjaga waktunya mencapai tingkat yang mengagumkan. Dia berkata, “Aku menyingkat semaksimal mungkin waktu waktu makan, sehingga aku memilih makanan roti basah daripada roti kering (roti basah memerlukan waktu lebih pendek yang cukup untuk membaca 50 ayat, antara 4-5 menit), karena selisih waktu mengunyahnya bisa aku gunakan untuk membaca atau menulis suatu faedah yang sebelumnya tidak aku ketahui.” Kira kira apa yang dikatakan Ibn Aqil kalau dia mendapatkan zaman kita, bahwa kebanyakan manusia menghabiskan waktu yang lama di meja makan sambil bergurau dan berbincang yang tidak ada manfaatnya?

Amir bin Abdul Qais melewati orang orang pemalas dan pengangguran. Mereka duduk berbincang bincang tanpa arah. Mereka berkata kepada Amir, “Kemarilah! Duduklah bersama kami” Amir menjawab,” Tahanlah matahari agar ia tidak bergerak, baru saya akan nimbrung berbincang-bincang dengan kalian.”

Al-Muammal bin Al-Hasan melihat seorang sahabatnya (Sulaim) menggerakkan kedua bibirnya berzikir kepada Allah (agar waktunya tidak berlalu sementara dia menganggur) ketika sedang meraut penanya yang tumpul akibat terus menerus digunakan untuk menulis.

Imam Muhammad Bin Hasan As Syaibani tidak tidur malam. Dia meletakkan kitab (buku) disisinya untuk dibaca. Apabila bosan dengan satu kitab berpindah kepada kitab yang lain. Dia mengusir kantuk dengan air. Dia berkata “sesungguhnya tidur itu karena panas”. Ubaid bin Ya’isy (salah seorang guru Imam Bukhari) berkata “ saya tidak pernah makan dengan tanganku di malam hari selama 30 tahun. Adalah saudara perempuanku yang menyuapkan makanan ke mulutku sementara aku sibuk menulis hadits Rasul.”

Imam Al-Muzani (salah seorang murid Imam Syafi’i) berkata,” Saya membaca kitab Ar-Risalah (kitab ushul fiqh pertama karangan Imam syafi’i) sebanyak 500 kali, setiap kali membacanya saya selalu menemukan ilmu yang baru.” Az-Zarkasyi, pada remajanya berhasil menghafal kitab “Minhajuth Thalibin” karya Imam Nawawi (4 jilid besar), sehingga ia dijuluki dengan “Minhaj”. Fudhail bin Gazwan berkata, “Aku pernah duduk duduk bersama Ibnu Syubrumah dan beberapa sahabat lainnya, pada suatu malam guna berdiskusi (muzakarah) tentang fikih. Lalu kami sama sekali tidak berdiri hingga mendengar kumandang azan subuh.”

Imam Abdullah bin Farrukh pergi menemui Abu Hanifah untuk belajar darinya. Ketika Abdullah duduk di rumah Abu Hanifah, tiba tiba batu bata jatuh dari atap rumah mengenai kepala Abdullah hingga terluka. Abu Hanifah berkata “ Apakah anda memilih harga denda atau tiga ratus hadits?” Abdullah menjawab, “Saya memilih tiga ratus hadits.” Kemudian beliau mengajarinya hadits tersebut.

Khalaf bin Hisyam berkata, “Sebuah bab dari pelajaran Nahwu sulit bagiku, lalu saya menghabiskan 8000 dirham untuk mempelajarinya, sehingga sayapun paham tentang bab tersebut.” Abdullah bin Ahmad al-Khasysyab membeli kitab seharga 500 dinar, tapi ia tidak memiliki apapun. Lalu ia meminta tempo selama tiga hari. Kemudian dia pergi dan melelang rumahnya seharga 500 dinar. Maka pemilik kitab membelinya dengan tunai. Ia pun menjualnya seharga 500 dinar dan membayar harga kitab.
Imam Muhammad bin Ishaq menuntut ilmu semenjak berusia 20 tahun dan kembali kedaerahnya setelah berusia 65 tahun. Beliau rihlah (perjalanan ilmiah) selama 45 tahun dan kembali ke daerahnya sudah menjadi tua. Ulama salaf melakukan rihlah dengan naik onta, bahkan ada yang berjalan kak,seperti Abul ’la Al-Hamdani yang dalam satu hari mampu berjalan 30 farsakh (sekitar 150 KM) sambil membawa kitab di pundaknya. Masyruq bin Al-Ajda’ melakukan rihlah karena satu masalah ilmu. Bahkan Hasan al-Bashri melakukan rihlah karena satu huruf.

Imam Ahmad menghafal jutaan hadits. Ibnul anbari menghafal 300.000 bait sya’ir tentang bukti kejaiban Al-Qur’an. Sofyan Ats Tsauri melewati seorang penjahit di pasar sambil menyumbat telinganya karena khawatir akan menghafal apa yang dikatakannya. Asy-Sya’bi berkata, “Saya tidak pernah menulis di atas kertas hingga hari ini, tidak seorangpun yang membacakan hadits kepada saya kecuali saya menghafalnya.” Beliau tidak perlu menulis karena ilmunya ada di dalam dada laksana tulisan.

Majlis Imam Bukhari di hadiri oleh 70.000 orang. Majlis Abu Bakar An-Naisaburi dihadiri 30.000 orang. Majlis Abu Bakar an-Najjad dihadiri oleh 10.000 orang. Majlis Ali Bin ashim dihadiri oleh lebih 30.000 orang. Majlis Imam Ahmad bin Hanbal tidak kurang dari 5000 orang.

Tradisi Menulis Ulama Salaf

Imam Syafi’i -karena sangat miskinnya- menulis catatan ilmiahnya di atas pelepah kurma, tulang unta, bebatuan dan kertas yang dibuang orang. Sampai suatu saat kamarnya penuh sesak dengan benda tersebut dan tidak dapat menjulurkan kakinya ketika tidur. Akhirnya, beliau menghafal semua catatan itu dan benda tersebut dikeluarkan dari kamarnya. Karyanya yang terkenal adalah Al-Umm (fikih) dan Ar-Risalah (ushul fikih). Abu Manshur Muhammad bin Husain -karena sangat fakirnya- menulis pelajaran dan mengulangi bacaannya di bawah cahaya rembulan.

Imam Al-Bukhari tidur diatas tikarnya, bila terlintas di benaknya sebuah masalah, beliau bangun dari tidurnya, mengambil korek api dan menyalakan lampu, kemudian menulis hadits dan memberinya tanda. Ketika beliau menaruh kepalanya untuk tidur, terlintas kembali di hatinya sebuah masalah. Sekali lagi beliau menyalakan lampu kemudian menulis haditsnya dan memberinya tanda. Hal ini beliau lakukan lebih dari 15-20 kali dalam satu malam. Semangat membara ini melahirkan kitab monumentalnya “Shahih Bukhari” yang mejadi rujukan kedua setelah Al-Qur’an, yang ditulis selama 16 tahun. Ibnu Hajar al-‘Asqalani, menulis kitab “Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari” berjumlah 17 jilid selama 29 tahun. Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam menulis kitab “Gharibul Hadits” selama 40 tahun.

Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama multidispilin ilmu. Majelis pengajiannya dijuluki dengan “Majelis 300 sorban besar”. Karyanya tersebar dalam berbagai fan ilmu, yang paling fenomenal adalah Ihya ‘Ulumuddin (4 jilid besar).

Imam An-Nawawi, seorang ulama yang sangat menakjubkan. Ia wafat pada usia 45 tahun dan belum sempat berumah tangga. Tapi kitab yang ditulisnya beratus ribu halaman. Diantara karyanya yang terkenal adalah Al-Majmu’ dan Minhajuth thalibin (kitab fikih standar yang dipakai seluruh pesantren di Indonesia).

Inilah sekelumit “semangat membara” para ulama salaf yang notabenenya tidak mengenal media pembelajaran canggih; komputer, internet, infokus dan mesin cetak. Mereka tak mengerti istilah kurikulum yang selalu berganti warna bagai “bunglon” seperti, CBSA, KBK, KTSP. Bagaimana dengan kondisi kita di era kontemporer dan teknologi canggih? Berapa judul kitab (buku) yang telah kita hafal dan telaah? Berapa karya ilmiah yang telah kita lahirkan? Logikanya -dengan berbekal media serba lux- kita bisa menghasilkan ratusan kali lipat prestasi dibanding mereka. Tapi realitasnya, kita justru ketinggalan jauh ibarat jaraknya langit dan bumi. Akankah kita bangkit di tahun baru ini? Jadilah seorang yang kakinya di bumi, tapi semangatnya menjulang di ketinggian langit.

Wallahu A’lam bishhsahwab

http://muslimahtips.com/tarbiyah/85-manajemen-waktu-ulama-salaf.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Archive