Sabtu, 26 Februari 2011

Belajar Kecerdasan Emosi


Apa itu kecerdasan emosi? Menurut Wikipedia,Kecerdasan Emosi atauEmotional Intelligence (EI) menggambarkan kemampuan, kapasitas, keterampilan atau, dalam kasus EI sifat model, kemampuan diri, untuk mengidentifikasi, menilai, dan mengelola emosi diri sendiri, orang lain, dan kelompok.
Mengapa begitu penting? Emosi berkaitan dengan keputusan dan tindakan. Jika emosi tidak dikelola dengan baik, masihkah berharap bahwa keputusan dan tindakan kita juga baik?
Dari berbagai literatur, saya menemukan ada 5 dasar kecerdasan emosional. Kelima dasar itu adalah
  1. Mengetahui perasaan Anda dan menggunakannya untuk membuat keputusan dalam hidup Anda.
  2. Mampu mengatur kehidupan emosional Anda tanpa dibajak oleh emosi-emosi negatif seperti depresi, marah, kebingungan, dan sebagainya.
  3. Bertahan dalam menghadapi kemunduran dan menyalurkan dorongan Anda untuk mengejar tujuan-tujuan Anda.
  4. Empati – membaca emosi orang lain tanpa mereka memberi tahu Anda apa yang mereka rasakan.
  5. Penanganan perasaan. Termasuk kemampuan membaca dan mengartikulasikan emosi yang tersirat
Lalu siapa teladan kita dalam hal kecerdasan emosi? Tentu saja, tiada lain dan tiada bukan, teladan kita adalah Rasulullah saw.Banyak literatur yang membahasnya, tetapi Al Quran dan Hadits-lah sumber rujukan utama kita.
Jika kita meneladani bagaimana cara Rasulullah saw berinteraksi dengan orang-orang sekitar beliau, dengan keluarga, bahkan dengan orang-orang yang menentang beliau, kita bisa petik bagaimana kecerdasan emosi beliau yang mengagumkan. Itulah praktek utama kecerdasan emosi.

Jumat, 25 Februari 2011

hukum wanita memendekkan rambut


Syaikh Sholeh Al Fauzan dalam sesi tanya jawab ditanya,
Apa hukum seorang wanita memendakkan rambutnya?

Beliau hafizhohullah menjawab,
Jika memang rambut panjang mengganggu (aktivitas) wanita tersebut, maka boleh saja untuk dipendekkan. Namun bila tidak mengganggu, maka yang terbaik bagi wanita adalah memiliki rambut panjang karena itu menunjukkann kecantikan dirinya.
[Fatwa Syaikh Sholeh Al Fauzan dalam Durus “Tathirul I’tiqod-Ash Shon’ani”, Riyadh-KSA, Selasa-20 Rabi’ul Awwal 1432 H, 22/02/2011]
***
Yang perlu diperhatikan di sini, rambut yang dipendekkan di sini bukan berarti dibolehkan berambut tomboy (amat pendek) sebagaimana laki-laki. Hal ini tentu saja terlarang karena dilarang wanita itu menyerupai laki-laki.
لَعَنَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ ، وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ
Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria.”[1]
Rambut panjang inilah yang menjadi kecantikan wanita sebagaimana kata Abu Hurairah,
زين الرجال باللحى والنساء بالذوائب
“Seorang pria itu semakin tampan dengan jenggotnya dan seorang wanita semakin anggun dengan jalinan rambutnya.”[2]
Wallahu waliyyut taufiq.

Riyadh-KSA, 20 Rabi’ul Awwal 1432 H


[1] HR. Bukhari no. 6834.
[2] Tarikh Dimasyq, Ibnu ‘Asakir, Asy Syamilah, 36/343

Rabu, 23 Februari 2011

Imam Hasan Basri

Birth: In Madinah during the reign of Sayyidinah Umar (R.A). Born in 21 AH, his father was a freed slave of Zaid ibn Thãbit (R.A), a famous companion of Nabi (Sallallahu Alaihi Wasallam). Hasan Basri (R) was himself brought up in the house of Ummul Mu’meneen Ummi-Salmah (R.A).
Capabilities of Hasan Basri (R): Hasan Basri (R) had been gifted with noble virtues and brilliant capabilities essential to make his exhortation for revival of Islãm. He was distinguished for his usual temperament, friendly and considerate, winning and enchanting, on one hand. As also for his scholarship and profound learning strengthened with good judgment and wisdom on the other. In his knowledge of the Qur’ãn and Hadith he excelled all the learned men of his times. He had the opportunity of being an associate of the Sahãbah (R.A) he was fully aware of the deficiencies in practises that had crept in among the different sections of the society, and the measures necessary to eradicate them. Whenever he lectured on the hereafter or described the by gone days of the Sahãbah (R.A) everyone was seen brimming with tears.

Hajjãj ibn Yusuf is rightly renowned for his eloquence but Hasan Basri (R) was considered to be an equally good elocutionist (to have an art of speaking). On Hasan Basri (R) is encyclopaedic knowledge. Rabi ibn Anas (R.A) says that he had the privilege of being closely associated with Hasan Basri (R) for ten years and almost everyday he found something new not heard of earlier in the lectures of Hasan Basri (R). Describing the scholarly achievement of Hasan Basri, (R) Abu Hayyãn at-Thauhidi (R) quotes Thãbit ibn Qurrah saying, “In his-learning and piety, forbearance and restrain, frankness and large-heartedness, insight and good judgment he resembled a bright star. He was always surrounded by students seeking instruction in different branches of knowledge. He would be teaching Tafseer to one, Hadith to another, Fiqh to a third, explaining a Fatwã (Legal opinion) to someone else and imparting instruction in the principles of Fiqh yet to another while continuing his advises in the meantime for those who came to him for the purpose. His knowledge covered a wide area as vast as an ocean, or he was like a dazzling radiance of light illuminating every soul around him. What is more? His heroic efforts to enjoin the good and to forbid the wrong, his support of the righteous path before rulers and administrators could never be forgotten.” The reason why Hasan Basri’s (R) words carried weight with his audience was that he was not simply a preacher but he also possessed a noble and supreme soul, whatever he said was heart-stirring because it came from the depth of his heart, his speeches had a magnetism which no other scholar or mentor of Kufã and Basra could attempt to surpass. Thãbit ibn Qurrah, a non Muslim- philosopher of the third century (A.H), was of the opinion that the few eminent persons produced by Islãm who could rightly by envied by the followers of other faiths, one was Hasan Basri (R). He adds that Makkah had always been a centre of Islãmic piety and learning where accomplished scholars in every branch of knowledge met all of parts of the world but even Makkans were dumb founded by his scholarly achievements as they had never seen a man of his calibre.

Sermons of Hasan Basri (R):  The sermons delivered by Hasan Basri (R) are stipulating memories of the simplicity and moral courage of the Sahãbah (R.A). comparing the moral condition of his own times with that of the Sahãbah (R.A), he observes: “Dignified in the company of their friends, praising Allah when they were left alone, content with the lawful gains, grateful when ease of means, resigned when in distress, remembering Almighty Allah among the idle and craving the grace of Allah. When among the pious, such were the companions of the Prophet (Sallallahu Alaihi Wasallam) their associates and their friends. No matter what position they occupied in life, they were held in high esteem by their companions and when they passed away, their spirit took flight to the blessed companionship on high as the most celebrated souls. O Muslims, those were your righteous ancestors, but when you deviated from the right path, Almighty Allah too withheld his blessings from you.”

Fearlessness of Hasan Basri (R): Hasan Basri (R) was as much distinguished for his moral courage and un-flattered pursuit of justice as he was in the field of scholarship and delivering public speeches. He opposed the then caliph, Yazid ibn Abdul Mãlik, in his presence when once someone asked Hasan Basri (R) to express his opinion about the two rebellions, Yazid ibn al-Muhallab and Ibn al-Ash’ath. Hasan Basri (R) replied, “Don’t be a party to either group”. A Syrian, springing upon his feet, repeated the question. “And not even to the Amir-ul-Mu’meneen?” Hasan Basri (R) replied angrily “Yes, not even to the Amir-ul-Mu’meneen .” 

Death of Hasan Basri (R):  The immaculate sincerity, outstanding piety and moral and spiritual excellence of Hasan Basri (R) had earned the affection of everyone in Basra.  When he passed away in 110 (AH), on 5th Rajjab on a Friday at the age of 89, the entire population of Basra attended his funeral which took place on Friday, so that for the first time in the history of Basra the Juma Masjid of the city remained empty at the hour of the Asr prayer. 
Article taken (with Thanks) from I.T.A

Seorang Pekerja Tidak Boleh Menyepelekan Shalat, Apa Pun Alasannya

Pertanyaan:
Ada fenomena buruk pada sebagian para pekerja, yaitu menyepelekan shalat. Apa nasehat anda untuk mereka dan orang-orang yang seperti mereka?

Jawaban:
Tidak diragukan lagi, bahwa shalat merupakan tiang agama Islam dan merupakan rukun yang paling utama setelah syahadatain. Menyepelekannya berdosa besar dan merupakan salah satu karakter kemunafikan, sebagaimana firman Allah سبحانه و تعالى tentang kaum munafiqin,
وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلاَ يَأْتُونَ الصَّلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلاَ يُنفِقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ

"Dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan." (At-Taubah: 54).

Malas di sini artinya menyepelekan atau dengan perasaan berat saat melaksanakannya. Allah pun telah mengancam orang yang melalaikannya, sebagaimana firmanNya,
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنصَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya." (Al-Ma'un: 4-5).

Yakni menunda-nunda pelaksanaannya hingga keluar dari waktunya, atau tidak melaksanakannya kecuali setelah lewat waktunya. Adapun orang-orang beriman, mereka senantiasa memelihara shalat dan membiasakan diri melaksanakannya disertai dengan kekhusyu'an dan melaksanakannya dengan sempurna sebagaimana yang ditetapkan disertai dengan thuma'ninah, kecintaan dan dengan sepenuh hati.

Kami nasehatkan kepada setiap Mukmin, baik pekerja maupun lainnya, hendaknya tidak menyepelekan, tidak meremehkan dan tidak acuh tak acuh terhadap shalat, ini sebagai sikap kehati-hatian agar tidak menyandang sifat-sifat kaum munafiqin yang telah diancam Allah dengan dasar neraka yang paling bawah.

Rujukan:
Syaikh Ibnu Jibrin, Ad-Durr Ats-Tsamin fi Fatawa Al-Kufala' wal 'Amilin, hal. 32.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.

Kategori: Mahasiswa - Pekerja
Sumber: http://fatwa-ulama.com
Tanggal: null

Minggu, 06 Februari 2011

Laksana Bidadari dalam Hati Suami 1 (Berhias Untuk Suami)

Saudariku,
Pada saatnya nanti kan tiba, engkau akan menjadi istri -Insya Allah-. Atau bahkan sekarang ini pun engkau sudah menjadi istri. Dan sudah barang tentu engkau pasti ingin menjadi wanita shalihah lagi berakhlak karimah. Ciri khas wanita shalihah yaitu wanita yang selalu berusaha merebut hati, mencari cinta suami, selalu mengharap ridha suaminya agar mendulang pahala, demi meretas jalan menuju Al-Firdaus Al-A’la…di sanalah, dia akan berharap bisa menjadi “permaisuri” suaminya ketika di dunia.
Lalu, lewat jalan manakah hati seorang lelaki akan terebut…dan ridhanya pun menyambut, sehingga dua jiwa dalam satu cinta akan bertaut?
Saudariku…Bunga-bunga cinta suami dapat mekar bersemi,
Harum semerbak mewangi di taman hati,
Jika ia senantiasa disirami

Manis ucapan, santun perkataan, lembut perlakuan, dan baiknya pergaulan seorang wanita akan menjadi siraman yang dapat menumbuhkan benih-benih cinta di hati sanubari sang suami. Dan bukan hal yang mustahil, karena akhlakmulah, duhai wanita…hati suami pun akan mencinta.
Agar memiliki akhlak wanita yang mulia, seorang wanita seyogyanya berkiblat pada figur wanita abadi nan sempurna. Sosoknya banyak digambarkan dengan parasnya yang sungguh sangat cantik jelita. Kiranya engkau pun tahu…karena dia adalah…bidadari surga.
Bidadari surga teramat istimewa, wanita yang Allah ciptakan dengan penuh kesempurnaan yang didambakan pria. Dengan segala keistimewaan yang ada dalam dirinya, kiranya itu menjadi tantangan bagi wanita dunia untuk bisa berusaha menyamai karakteristik bidadari surga. Menyinggung soal karakteristik, tentunya wanita dunia tidak akan mampu bersaing dengan bidadari dalam urusan fisik, dan yang bisa kita contoh adalah ciri khas akhlaknya. Baiklah, mari kita bersama-sama telusuri tabiat yang khas dari bidadari surga.
Cantik Parasnya, Baik Akhlaknya, dan Harum Bau Tubuhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati bidadari dengan keelokan dan kecantikan yang sungguh sempurna, sebagaimana yang tergambar dalam ayat berikut,
وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ
” Dan Kami pasangkan mereka dengan bidadari – bidadari yang cantik dan bermata jelita. ” (Qs. Ath-Thur: 20) – bagian yg berwarna sebaiknya dibuang, agar sesuai dg terjemahannya
Huur ( حور) adalah bentuk jamak dari kata haura (حوراء ) yaitu wanita muda usia yang cantik mempesona, kulitnya mulus dan biji matanya sangat hitam.
Hasan berkata, “Al-Haura (الحوراء )adalah wanita yang bagian putih matanya amat putih dan biji matanya sangat hitam.”
Zaid bin Aslamberkata, “Al-Haura adalah wanita yang matanya amat putih bersih dan indah.”
Muqatilberkata, “Al-Huur adalah wanita yang wajahnya putih bersih.”
Mujahid berkata, “Al-Huur Al-’Iin (الحور العين ) adalah wanita yang matanya sangat putih dan sumsum tulang betisnya terlihat dari balik pakaiannya. Orang bisa melihat wajahnya dari dada mereka karena dada mereka laksana cermin.”
Seorang penyair berkata,
Mata yang sangat hitam di ujungnya telah membunuh kita
Lalu tak menghidupkan kita lagi

Menaklukkan orang yang punya akal hingga tak bergerak
Dan mereka ialah makhluk Allah yang paling indah pada manusia

Benarlah memang, karena wanita juga akan tampak terlihat lebih menawan jika ia bermata indah, dengan kelopak mata yang lebar, berbiji mata hitam dikelilingi warna putih lagi bersih.
فِيهِنَّ خَيْرَاتٌ حِسَانٌ
Di dalam surga – surga ada bidadari – bidadari yang baik – baik lagi cantik – cantik.”. (Qs. Ar-Rahman: 70)
Khairaatun ( خَيْرَاتٌ ) adalah jamak dari kata khairatun, sedangkan hisaan adalah bentuk jamak dari hasanatun ( حسنة). Maksudnya, bidadari – bidadari tersebut baik akhlaknya dan cantik wajahnya. Beruntunglah seorang pria yang diberi anugrah wanita secantik akhlak bidadari surga. Perhatikan dan tanyakan pada diri kita…
Apakah kita sudah sepenuhnya memenuhi hak-hak suami, memuliakannya dengan sepenuh hati dan segenap jiwa? Apakah kita sudah berterima kasih atas kebaikannya? Pernahkah kita menyakitinya dengan sadar atau tidak??
Duhai istri…Suami yang beriman merupakan orang yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan marah jika engkau menghina dan menyakiti lelaki yang memiliki kedudukan yang mulia di sisiNya. Sebagai gantinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menugaskan para bidadari untuk menjunjung kemuliaan suami-suami mereka di dunia ketika para istri menyakiti mereka sekalipun sedikit -di dunia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya ketika di dunia, melainkan istri suami tersebut yang berasal dari kalangan bidadari akan berkata, ‘Jangan sakiti dia! Semoga Allah mencelakakanmu, sebab dia berada bersamamu hanya seperti orang asing yang akan meninggalkanmu untuk menemui kami.” (Hr. Tirmidzi dan Ahmad. Menurut Imam Tirmidzi, ini hadits hasan)
Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu’anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sekiranya ada seorang wanita penghuni surga, yang menampakkan dirinya ke bumi, niscaya ia akan menerangi kedua ufuknya serta memenuhinya dengan semerbak aroma. Kerudungnya benar-benar lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (Hr. Bukhari)
Saudariku, sebagaimana kita ketahui…kecantikan paras wanita dunia seperti kita sangatlah minim jika dibandingkan kecantikan paras bidadari surga. Kita niscaya tidak akan mampu menandingi kecantikan mereka, namun apakah kita harus bersedih? Sama sekali tidak!
Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang beraneka rupa, sebagai tanda dari kehendak dan kekuasaanNya. Maka terimalah apapun yang telah Ia karuniakan bagimu, karena itu yang terbaik untukmu. Meskipun wajah kurang cantik dan fisik kurang menarik, janganlah takut untuk tidak dicinta. Berhiaslah dan percantiklah dirimu dengan hal – hal yang Allah halalkan, karena istri shalihah bukan hanya yang tekun beribadah saja, namun seorang istri yang bisa menyenangkan hati suami ketika suami memandangnya.
Saudariku… Dan apakah kau lupa, fitrahmu sebagai wanita yang tentu suka akan perhiasan? Perhiasan terkait dengan makna keindahan, sehingga seorang perempuan shalihah senantiasa menjaga daya tarik dirinya bagi suaminya… karena wanita adalah salah satu sumber kebahagiaan lelaki. Apabila seorang istri senantiasa melanggengkan berhias dan mempercantik diri di hadapan suami, itu akan menjadi hal yang menambah keintiman hubungannya dengan suami. Sang Suami pun tentu akan semakin cinta pada istri pujaan hatinya insyaallah.
Bagi saudari-saudariku pada umumnya serta saudara-saudaraku pada khususnya, enak dipandang dan menyenangkan hati bukan berarti harus cantik sekali bukan? Dan berhias pun tidak harus menggunakan aksesori yang terlalu mahal . Lalu bagaimana jika Allah menentukan engkau mendampingi lelaki yang secara materi belum mampu “madep mantep“? (baca: hanya cukup untuk membiayai kebutuhan pokok)
Aku ingatkan engkau pada nasihat para pendahulu kita kepada putrinya…
Abul Aswad berkata pada putrinya, “Janganlah engkau cemburu, dan sebaik-baik perhiasan adalah celak. Pakailah wewangian, dan sebaik – baik wewangian adalah menyempurnakan wudhu.”
Ketika Al-Farafisah bin Al-Ahash membawa putrinya, Nailah, kepad Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, dan Beliau telah menikahinya, maka ayahnya menasihatinya dengan ucapannya, “Wahai putriku, engkau didahulukan atas para wanita dari kaum wanita Quraisy yang lebih mampu untuk berdandan darimu, maka peliharalah dariku dua hal ini: bercelaklah dan mandilah, sehingga aromamu adalah aroma bejana yang terguyur hujan.”
Memang tubuhmupun dicipta tiada bercahaya dan harum mewangi laksana bidadari, namun engkau tentu bisa memakai wewangian yang disukai suamimu ketika engkau berada di kediamanmu bersamanya, dengan begitu penampilanmu tambah terlihat menawan dipandang mata.
Bersambung insyaallah
***
Penulis: Fatihdaya Khairani
Murajaah: Ust. Ammi Nur Baits

Maraji’:
  1. Tamasya ke Surga, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul Falah, Jakarta.
  2. Panduan Lengkap Nikah (Dari “A” sampai “Z”), Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdirrazzak, Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan ke-4, Bogor, 2006.
  3. Bersanding Dengan Bidadari di Surga, Dr.Muhamamd bin Ibrahim An-Naim, Daar An Naba’, Cetakan Pertama, Surakarta, 2007.
  4. Mengintip Indahnya Surga, Syaikh Mahir Ahmad Ash-Shufi, Aqwam, Cetakan Pertama, Solo, 2008.
  5. Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul falah, Cetakan ke-11, Jakarta, 2003.
  6. Majelis Bulan Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Pustaka Imam Syafi’i, Cetakan ke-2, Jakarta, 2007.
  7. Bidadari Surga Agar Engkau Lebih Mulia Darinya, ‘Itisham Ahmad Sharraf, IBS, Cetakan ke-3, Bandung 2008.

Sabtu, 05 Februari 2011

Teh, Temukan Khasiatnya




Jumat, 21 September 2007
BARANGKALI cukup sering Anda mendengar pernyataan tuan rumah ketika menjamu tamunya. Bunyinya seperti ini, "Maaf ya, hanya sekadar teh...."
Pernyataan tuan rumah biasanya akan sangat lain, lebih bernada gembira dan bangga, ketika dia menyajikan kopi, sirup, atau minuman berkarbonat yang populer disebut soft drink kepada tamunya.
Itulah potret nyata bagaimana "penghargaan" terhadap teh di tengah masyarakat Indonesia. Barangkali karena harga teh relatif lebih murah ketimbang harga bubuk kopi atau soft drink untuk ukuran yang sama, maka teh dianggap "murahan". Apalagi sering kali di rumah-rumah makan kita bisa mendapatkan minuman teh secara gratis, hal mana tidak akan bisa kita dapatkan untuk minuman kopi atau soft drink.
Padahal, teh itu sangat beragam. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, misalnya, kedai-kedai penjual teh dengan harga puluhan ribu rupiah per gelasnya sudah banyak. Bahkan, sebungkus bubuk teh sebesar 250 gram yang berasal dari luar Indonesia, dijual dengan harga jauh lebih mahal dari bubuk kopi impor untuk ukuran yang sama.
Bagi masyarakat Indonesia, teh sebenarnya tidak pernah bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Hampir setiap hari kita meminum teh, baik di rumah, di rumah makan, bahkan juga di pinggir jalan atau lapangan olahraga. Minuman teh juga bisa ditemukan di mana-mana di Indonesia. Akan tetapi, kebiasaan kita minum teh itu jika dikumulasikan dalam setahun ternyata masih relatif rendah dibandingkan kebiasaan masyarakat Jepang, India, Inggris, atau Sri Lanka dalam mengonsumsi teh. Dalam setahun, orang Indonesia mengonsumsi teh sekitar 250-300 gram saja, atau dalam sehari teh yang kita minum rata-rata berasal kurang dari satu gram bubuk teh.
Dengan kandungan bubuk teh yang minim itu, tidak mengherankan bila rasa air teh yang umumnya kita minum memang "begitu-begitu" saja. Hanya air putih dengan sedikit rasa pahit dan warna kecoklat-coklatan. Banyak dari kita mungkin belum bisa merasakan nikmatnya minum teh.
Barangkali banyak dari kita belum menyadari, belum tahu, atau tahu tetapi melupakannya, bahwa minuman teh itu jauh lebih bermanfaat ketimbang kopi, apalagi soft drink. Khasiat teh sudah sejak lama diketahui, baik sebagai antioksidan, sebagai sumber serat alami, maupun sebagai pengurang risiko hipertensi, stroke, dan berbagai penyakit lainnya.
TANAMAN teh (Camellia sinensis) yang menurut sejarah pertama kali dikenal oleh Kaisar Shen Nung di Cina pada tahun 2737 Sebelum Masehi, mulai ditanam di Indonesia sejak tahun 1826.
Banyak dari kita di Indonesia mungkin hanya mengenal teh hitam, karena jenis teh inilah yang banyak diproduksi di Indonesia. Beberapa dari kita mungkin juga mengenal teh hijau, namun di pasaran jenis teh ini tidaklah banyak.
Jenis teh sendiri sebenarnya sangat beragam, begitu juga kualitas hasil olahannya. Meski demikian, pada dasarnya teh itu terbagi menjadi tiga, yaitu teh hitam yang dibuat melalui proses fermentasi, teh hijau yang dibuat tanpa melalui proses fermentasi sama sekali, dan teh oolong yang dibuat melalui proses semi fermentasi. Proses fermentasi di atas pada dasarnya adalah proses oksidasi polifenol yang ada dalam daun teh oleh enzim polifenol oksidase.
Selain perbedaan dalam proses pengolahannya, varietas klon teh hitam dan teh hijau pun berbeda. Teh hijau berasal dari klon-klon yang aslinya berasal dari Jepang, antara lain yabukita, yutakamidori, yamakai, dan lain-lain.
Di kalangan sementara pihak ada kepercayaan teh hijau khasiatnya lebih tinggi ketimbang teh hitam. Akan tetapi, mantan Ketua Asosiasi Teh Indonesia (ATI) Rachmat Badrudin maupun Ketua ATI Insyaf Kamil berpendapat sebenarnya khasiat teh hitam dan teh hijau relatif sama. "Hanya karena produksi teh hijau ini di dunia memang lebih sedikit, sekitar 20 sampai 30 persen, maka sering kali dianggap teh hijau lebih unggul ketimbang teh hitam," papar Rachmat.
Terlepas dari soal mana yang lebih berkhasiat, rasa maupun penampakan minuman dari teh hitam dengan teh hijau memang sedikit berbeda. Teh hijau umumnya lebih pahit rasanya, padahal warna airnya justru lebih bening, kehijau-hijauan atau kekuning-kuningan. Selain itu, ada rasa tertentu yang tertinggal di lidah kita, seusai kita meminum teh hijau yang disajikan dengan cara yang benar.
Berdasarkan hasil penelitian maupun bahan pustaka dari Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung, baik teh hijau maupun teh hitam punya keunggulan masing-masing. Dalam setiap 100 gram teh hijau terdapat 24 gram (gr) kandungan protein, sedangkan pada teh hitam dengan kuantitas yang sama mengandung 19,4 gr protein. Untuk kandungan serat, teh hijau 10,6 gr sedangkan teh hitam 10,9 gr. Sedangkan kandungan gulanya pada teh hijau 35,2 gr dan pada teh hitam 32,1 gr. Teh pun memiliki kandungan lemak, di mana untuk teh hijau mencapai 4,6 gr sedangkan teh hitam 2,5 gr.
Teh hijau dalam penelitian di atas adalah dari klon Sencha, dan baru klon inilah yang bisa dibuat di PT Perkebunan Nusantara VIII, Jawa Barat. Dua klon teh hijau lainnya yang juga mulai dikembangkan di Indonesia adalah jenis Gyokuro dan Bancha.
Bila dibandingkan dengan minuman kopi, secara umum kualitas teh lebih baik. Bahkan dalam soal kandungan vitamin C, dalam 100 gr teh hijau terkandung 250 mg vitamin C. Padahal untuk ukuran yang sama, pada jeruk mandarin hanya terkandung vitamin C sebanyak 35 mg, atau setiap 100 gr teh hijau Sencha sebanding dengan 700 gr jeruk. Wajarlah bila Institut Kanker Nasional Amerika Serikat berdasarkan hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa teh hijau memiliki sifat anti kanker yang kuat.
Bahkan, orangtua kita kerap menyarankan agar minum teh pahit saja jika kita terserang diare. Jika "resep" itu dilakukan cukup rutin, maka diare kita pun bisa hilang karena polifenol teh dapat membunuh spora klostridium botulinum, kuman penyebab diare yang sering ditemukan dalam makanan kaleng.
Jika Anda bingung mencari suplemen makanan yang mengandung zat antioksidan, daripada mahal-mahal membeli suplemen makanan berbentuk tablet buatan luar negeri yang harganya mahal, cukup minum saja teh secara rutin. Menurut Archieve of International Medicine, Polifenol dalam teh merupakan antioksidan jenis biolavanoid yang 100 kali lebih efektif dari Vitamin C dan 25 kali lebih efektif dari Vitamin E.
Maka tepatlah bila ATI dalam kampanye untuk meningkatkan konsumsi teh di Indonesia, menggunakan kalimat yang sederhana saja, "Teh, Temukan Khasiatnya". Jadi, tunggu apa lagi? Minumlah teh dan jadikan teh bagian dari upaya menjaga kesehatan Anda. (oki)



Bagaimana: Orang Tua Melarang Jihad?

Pertanyaan: 
Saya ingin turut serta berjihad, hal itu telah membahana di lubuk hati saya, rasanya sudah tidak sabar lagi. Saya telah mencoba meminta restu ibu saya, tapi beliau tidak setuju. Karena itu, sering kali hal ini membuat saya kecewa dan saya tidak bisa men-jauhkan diri dari jihad .. Syaikh yang mulia, angan-angan saya dalam hidup ini adalah jihad fi sabilillah dan terbunuh di jalan Allah, tapi ibu saya tidak menyetujui. Tolong beri saya petunjuk ke jalan yang sesuai. Jazakumullah khairan.

Jawaban:
Jihad anda dengan berbakti (mematuhi) ibu anda adalah jihad yang besar. Berbaktilah kepadanya dan berbuat baiklah ter-hadapnya, kecuali bila penguasa menugaskan anda untuk ber-jihad, maka sambutlah, berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
"Dan jika kalian diperintahkan untuk pergi berperang, maka berangkatlah." (HR. Al-Bukhari dalam Jaza' ash-Shaid (1834); Muslim dalam al-Hajj (1353)).

Selama penguasa tidak memerintahkan anda, maka tetaplah anda berbuat baik kepada ibu anda dan menyayanginya. Perlu diketahui, bahwa berbakti kepadanya termasuk jihad yang agung yang lebih didahulukan oleh Nabi صلی الله عليه وسلم daripada jihad fi sabilillah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits shahih dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم, bahwa seseorang berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling utama?" Beliau menjawab,
إِيْمَانٌ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ

"Beriman kepada Allah dan RasulNya. "
Ditanyakan lagi, 'Lalu apa lagi? "Beliau menjawab,
بِرُّ الْوَالِدَيْنِ

"Berbakti kepada kedua orang tua. " 
Ditanyakan lagi, 'Lalu apa lagi? " Beliau menjawab,
اَلْجِهَادُ فيِ سَبِيْلِ اللهِ

"Jihad di jalan Allah." (Disepakati keshahihannya. HR. Al-Bukhari dalam Mawaqit ash-Shalah (527); Muslim dalam al-Iman (58) dengan sedikit perbedaan).

Beliau mendahulukan berbakti kepada kedua orang tua daripada jihad. Pernah seorang laki-laki menghadap Rasulullah صلی الله عليه وسلم, untuk meminta izin, laki-laki tersebut berkata,
"Wahai Rasulullah, aku ingin berjihad bersamamu." Beliau bertanya, "Apakah kedua orang tuanya masih hidup?" Ia menjawab, "Masih." Beliau bersabda, "Kalau begitu, berjihadlah pada keduanya." (HR. Al-Bukhari dalam al-Jihad (3004); Muslim dalam Al-Birr (2549)).

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa beliau bersabda,
اِرْجِعْ إِلَيْهِمَا فَاسْتَأْذِنْهُمَا فَإِنْ أَذِنَا لَكَ فَجَاهِدْ وَإِلاَّ فَبِرَّهُمَا

"Kembalilah kepada mereka berdua lalu mintalah izin dari mereka. Jika mereka mengizinkanmu, maka berjihadlah, tapi jika tidak, maka berbaktilah kepada mereka. " (HR. Abu Daud dalam al-Jihad (2530); Ahmad (27320) dari hadits Abu Sa'id).

Sementara anda, itu adalah ibu anda, maka sayangilah ia dan berbuat baiklah kepadanya sampai ia rela terhadap anda. Ini berlaku untuk jihad karena keinginan sendiri dan selama penguasa/pemerintah tidak memerintahkan untuk berangkat.

Namun bila datang serangan menghampiri anda, maka pertahankanlah diri anda atau saudara-saudara anda seiman, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah. Begitu juga bila penguasa memrintahkan anda untuk berangkat berperang, walau-pun tanpa restu ibu anda, hal ini berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى,

"Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu, 'Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah' kamu merasa berat dan ingin tinggal ditempatmu. Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan tidak akan dapat memberi kemudharatan kepadaNya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. " (At-Taubah: 38-39).

Dan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
"Dan jika kalian diperintahkan untuk pergi berperang, maka berangkatlah. " (Disepakati keshahihannya. HR. Al-Bukhari dalam Jaza' ash-Shaid (1834); Muslim dalam al-Hajj (1353)).

Semoga Allah menunjukkan semuanya kepada apa yang dicintai dan diridhaiNya.


Rujukan:
Majalah al-Buhuts, nomor 34, hal. 146-147, Syaikh Ibnu Baz.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 3, penerbit Darul Haq.

Kategori: Berbakti - Durhaka
Sumber: http://fatwa-ulama.com
Tanggal: null