Kamis, 28 April 2011

Hukum Mencium Mushaf Al-Qur’an

Setelah selesai membaca Al-qur’an (mengaji) kawan saya menutup mushafnya kemudian dengan khusyu’ diciumnya mushaf itu, bukan hanya sekali saya melihatnya ia berbuat demikian bahkan sering. Sedangkan kawan saya yang lain tanpa sengaja menjatuhkan mushaf Al-qur’an lalu dengan sigap diambilnya mushaf Al-Qur’an tersebut kemudian di ciumnya. Pemandangan yang sering terjadi dan mungkin juga ukhti jumpai, pernah saya menanyakannya kepada kawan saya itu, mengapa anda melakukannya ya ukhti? beliau menjawab bahwa itu adalah untuk memuliakan Al-Qur’an.Pada saat itu saya pun merenung…hmm… untuk memuliakan Al-qur’an? rasa penasaran ingin mengetahui dalilnya apakah memang ada contohnya dari Rasulullah shalallahu alaihi wassalam atau setidaknya adakah sahabat beliau yang melakukannya menuntun saya untuk mencari sumbernya hingga akhirnya Alhamdulillah saya menemukan jawabannya lewat buku kecil yang isinya sarat dengan ilmu. Inilah dia jawabannya
Pertanyaan :
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya :  Apa hukumnya mencium mushaf Al-Qur’an yang sering dilakukan oleh sebagian kaum muslimin ?

Jawaban:
Kami yakin perbuatan seperti ini masuk dalam keumuman hadits-hadits tentang bid’ah. Diantaranya hadits yang sangat terkenal.
”Artinya : Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara (ibadah) yang diada-adakan, sebab semua ibadah yang diada-adakan (yang tidak ada contohnya dari Rasul) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat”  rn[Shahih Targhib wa Tarhib 1/92/34]
Dalam hadits lain disebutkan.
”Artinya : Dan semua yang sesat tempatnya di neraka”  [Shalat Tarawih hal. 75]
Banyak orang yang berpendapat bahwa mencium mushaf adalah merupakan perbuatan yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan Al-Qur’an. Betul …!, kami sependapat bahwa itu sebagai penghormatan terhadap Al-Qur’an. Tapi yang menjadi masalah : Apakah penghormatan terhadap Al-Qur’an dengan cara seperti itu dibenarkan .?

Seandainya mencium mushaf itu baik dan benar, tentu sudah dilakukan oleh orang yang paling tahu tentang kebaikan dan kebenaran, yaitu Rasulullah ? dan para sahabat, sebagaimana kaidah yang dipegang oleh para ulama salaf.
”Artinya : Seandainya suatu perkara itu baik, niscaya mereka (para sahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah lebih dulu melakukannya”
Itulah patokan kami.

Pandangan berikutnya adalah, ”Apakah hukum asal mencium mushaf itu boleh atau dilarang?” Ada sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang sangat pantas untuk kita renungkan. Dari hadits ini insya Allah kita bisa tahu betapa kaum muslimin hari ini sangat jauh berbeda dengan para pendahulu mereka (salafush shalih) dalam hal memahami agama dan dalam menyikapi perkara-perkara ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh ‘Abis bin Rabi’ah, dia berkata : ”Aku melihat Umar bin Kahthtab Radhiyallahu ;anhu mencium Hajar Aswad dan berkata.
”Artinya : Sungguh aku tahu engkau adalah batu yang tidak bisa memberi mudharat dan tidak bisa memberi manfaat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah mencium engkau, maka aku tidak akan menciummu”  rn[Shahih Targhib wa Tarhib 1/94/41]
Disebutkan dalam hadits lain bahwa.
”Artinya : Hajar Aswad adalah batu dari surga”  [Shahihul Jaami' No. 3174]
Yang jadi masalah … kenapa Umar Radhiyallahu anhu mencium Hajar Aswad ? Apakah karena Hajar Aswadtersebut berasal dari tempat yang mulia yaitu surga ? Ternyata tidak, Umar mencium batu tersebut bukan karena kemuliaan batu tersebut dan bukan karena menghormatinya tetapi Umar mencium karena dia mengikuti sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Lihatlah …. betapa Umar Radhiyallahu ‘anhu lebih mendahulukan dalil dengan mencontoh kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada mendahulukan akalnya. Dan demikian sifat dan sikap semua para sahabat, -pent-).
rn
Lalu sekarang … bolehkan kita mencium mushaf Al-Qur’an dengan alasan untuk menghormati dan memuliakan-Nya sementara tidak ada dalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mencium mushaf ? Kalau cara beragama kita mengikuti para sahabat, tentu kita tidak akan mau menciummushaf itu karena perbuatan tersebut tidak ada dalilnya rn(tidak ada contoh dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Tapi kalau cara rnberagama kita mengikuti selera dan akal kita serta hawa nafsu, maka kita akan rnberani melakukan apa saja yang penting masuk akal.Contoh kedua adalah ketika Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘anhuma bersepakat untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Lalu mereka berdua menyerahkan rntugas ini kepada Zaid bin Tsabit. Bagaimana komentar dan sikap Zaid ? Dia rnberkata, ”Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan rnoleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Begitulah para sahabat rnsemuanya selalu melihat contoh dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rnsemua urusan agama mereka. Sayang sekali semangat seperti ini tidak dimiliki rnoleh sebagian besar kaum muslimin hari ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling berhak dan paling tahu bagaimana cara memuliakan Al-Qur’an. Tapi beliau tak pernah mencium Al-Qur’an. Sebagian orang jahil  mengatakan, ”Kenapa mencium mushaf tidak boleh dengan alasan tidak ada contoh dari rnRasul? Kalau begitu kita tidak boleh naik mobil, naik pesawat, dan lain-lain, rnkarena tidak ada contohnya dari Rasul …?”Ketahuilah bahwabid’ah yang sesat (yang tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) hanya ada dalam masalah agama. Adapun masalah dunia, hukum asalnya semuanya mubah (boleh), rnkecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka seorang yang naik pesawat dalam rangka menunaikan ibadah haji ke Baitullah adalah boleh, walaupun naik pesawat untuk pergi haji itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang tidak boleh adalah naik pesawat untuk pergi haji ke Negeri Barat. Ini jelas bid’ah, karena haji itu rnmasalah agama yang harus mencontoh Rasul Shallallahu ‘alahi wa sallam di dalam rnpelaksanaannya, yaitu dilaksanakan di Makkah dan tidak boleh di tempat lain.Maka perkara ibadah adalah semua perkara yang dilakukan dengan tujuan ber-taqarrub (mendekatkan diri ) kepada Allah dan kita tidak boleh ber-taqarrubkepada Allah kecuali dengan rnsesuatu yang telah disyariatkan oleh Allah.
Untuk memahami dan menguatkan hadits, ”Setiap bid’ah adalah sesat”, ada sebuah kaidah yang datang dari para ulama salaf.
”Artinya : Jika bid’ah sudah merajalela, maka sunnah pasti akan mati”
Dengan mata kepala saya sendiri saya melihat dan merasakan kebenaran kaidah tersebut, katika bid’ah-bid’ah sudah banyak dilakukan orang dalam rnberbagai macam keadaan.Orang-orang yang berilmu dan mempunyai banyak keutamaan tidak pernah mencium mushaf ketika mereka mengambilnya untuk dibaca, padahal mereka adalah orang-orang yang selalu mengamalkan isi Al-Qur’an. Sementara orang-orang awam yang kerjanya mencium mushaf, hampir semua dari mereka adalah orang-orang rnyang perilakunya jauh dan menyimpang dari isi Al-Qur’an.
Demikianlah orang-orang yang melaksanakan sunnah, dia akan jauh dari bid’ah. Sebaliknya orang-orang yang melakukan bid’ah, dia pasti akan jauh dari sunnah. Maka tepat sekali kaidah di atas : ”Jika bid’ah sudah rnmerajalela, sunnah pasti akan mati”.Ada contoh lain lagi. Di beberapa tempat, banyak orang yang sengaja berdiri ketika mereka mendengar adzan.Padahal di antara mereka ini adalah orang-orang fasikyang rnselalu berbuat maksiat.
Ketika mereka ditanya : ”Kenapa Anda berdiri ?” Jawab rnmereka : ”Untuk mengagungkan Allah”. Begitulah cara mereka mengagungkan Allah rndengan cara yang salah, kemudian setelah itu mereka tidak pergi ke masjid untuk rnshalat berjama’ah tetapi malah kembali bermain kartu atau catur, dan mereka rnmerasa telah mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.Dari mana ceritanya sampai rnmereka berbuat demikian? Jawabannya adalah dari sebuah hadits plasu, bahkan rnhadits yang tidak ada asal-usulnya, yaitu.
”Artinya : Jika kalian mendengar adzan, maka berdirilah”  [Adh-Dhaifah No. 711]
Sebetulnya hadits tersebut ada asalnya, tetapi isinya telah diubah oleh sebagian rawi (periwayat) pembohong dan rawi-rawi yang lemah hapalannya.  Kata ”berdirilah” dalam hadits tersebut sebenarnya aslinya adalah ”ucapkanlah”.
Jadi yang sebenarnya hadits tersebut berbunyi:
”Artinya : Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah (seperti lafadz adzan tersebut)”  [Shahih Muslim No. rn184]
Demikialah, syetan menjadikan bid’ah itu indah dan baik di mata manusia. Dengan melakukan bid’ah-bid’ahtersebut,  orang-orang merasa telah menjadi seorang mukmin yang mengagungkan syiar-syiar Allah, dengan cara mencium mushaf atau berdiri ketika mendengar rnadzan.Akan tetapi kenyataannya mereka adalah orang-orang yang pengamalannya jauh rndari Al-Qur’an. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang meninggalkan shalat. rnKalau toh di antara mereka ada yang shalat, mereka masih makan barang haram, rnmakan hasil riba atau memberi nafkah (keluarganya) dari hasil riba, atau menjadi rnperantara riba, dan perbuatan lain yang berbau maksiat.
Oleh karena itu tidak boleh tidak, kita harus membatasi rndiri kita dalam ketaatan dan peribadatan kepada Allah hanya dengan sesuatu yang rntelah disyariatkan oleh Allah. Jangan kita tambah-tambah syariat Allah tersebut, rnwalaupun satu huruf. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah rnbersabda.
”Artinya : Apapun yang Allah perintahkan kepada kalian, semuanya telah aku sampaikan. Dan apapun yang Allah larang, semuanya telah aku sampaikan”  [Ash-Shahihah No. 1803]
Coba tanyakan kepada orang-orang yang suka mencium mushaf dan suka berdiri ketika mendengar adzan : ”Apakah anda lakukan semua ini dalam rangka beribadah untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah)?” Kalau mereka bilang : ”Ya” Maka katakan kepada mereka : Tunjukkan kepada kami dalil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam!” Kalau mereka tidak bisa menunjukkan dalil, maka katakan bahwa perbuatan itu adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua sesat pasti di neraka.Mungkin diantara kita ada yang rnmengatakan bahwa hal ini adalah masalah yang sangat ringan dan sepele. Pantaskah rnmasalah sekecil ini dikatakan sesat dan pelakunya akan masuk neraka ?”
Kalimat yang berbau syubhat ini telah dibantah oleh Imam Syatibi : ”Sekecil apapun bid’ah itu, dia tetap sesat. Jangan kita melihat bid’ah itu hanya wujud bid’ahnya saja (seperti mencium mushaf, berdiri ketika mendengar adzan, ushollii, adzan untuk mayit, dan seterusnya -pent-), tetapi mari kita lihat, mau dikemanakan perbuatan-perbuatan bid’ah yang menurut kita kecil rndan sepele itu?Ternyata perbuatan ini akan dimassukkan ke dalam sesuatu yang rnbesar, agung, mulia dan sempurna yaitu ajaran Islam yang datangnya dari Allah rndan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seolah-olah ajaran Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu belum begitu baik dan belum begitu sempurna sehingga masih perlu diperbaiki dan disempurnakan dengan bid’ah-bid’ah tersebut. Dari sini sangat pantas kalau bid’ah itu dinilai sebagai perbuatan sesat.

Disalin kitab Kaifa Yajibu ‘Alaina Annufasirral Qur’anal Karim, edisi Indonesia Tanya Jawab Dalam Memahami Isi Al-Qur’an, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tauhid, penerjemah Abu Abdul Aziz

Kekuatan Doa dan Shalat Lail Ibu

Sendirian mengantarkan delapan anaknya menjadi orang berilmu dan shalih. Salah seorang di antaranya bahkan menjemput syahid.
Hari itu, 30 tahun lalu, duka menyelimuti Musa’adah. Muhammad Basri, suaminya tercinta dipanggil Allah. Ia ditinggali enam orang anak dan bayi yang masih dalam kandungan (belakangan diketahui anak yang di dalam kandungan itu kembar dua).
Status janda saja sudah menjadi beban tersendiri, apalagi ditambahi delapan anak yang masih kecil-kecil, jelas itu beban yang amat berat. Namun Sa’adah, demikian biasa dipanggil, tak ingin lama-lama larut dalam kesedihan. Bagaimanapun, kehidupan harus berjalan terus.
Syukurnya, semasa hidupnya, Basri membuka toko kelontong di Kartasura, Solo, Jawa Tengah untuk menafkahi keluarganya. Namun, setelah ia meninggal, toko itu lambat laun mengalami kemunduran hingga bangkrut. Sa’adah pun memboyong anak-anaknya ke Tempursari, Klaten, tanah kelahirannya.
Di Tempursari segala usaha dilakukan perempuan yang lahir 66 tahun lalu ini, mulai dari buka warung kecil-kecilan hingga tukang kredit pakaian. Selama menikah dengan Basri, Sa’adah hanya fokus dalam mengasuh dan merawat anak-anaknya. Kini, ia harus memeras keringat dan membanting tulang, demi buah hatinya.
Tiap malam ia mengadu kepada Allah Ta’ala agar diberi kemudahan dan ketabahan dalam menjalani hidupnya. Ia sadar, predikat janda masih dianggap sebelah mata oleh orang-orang sedesanya. Oleh karena itu, ia bertekad mengantarkan anak-anaknya meraih pendidikan setinggi-tingginya.
Dalam menjalankan usaha kreditan baju, Sa’adah mengaku hanya bermodal kejujuran dan amanah. “Kalau kita tidak jujur, rezeki itu tidak akan berkah. Saya hanya mencari keberkahan walaupun sedikit,” katanya.
Sa’adah bersyukur, ketika ditinggal suaminya, ia tidak memiliki hutang sepeser pun. Ia juga berusaha agar tidak berhutang, bagaimanapun sulitnya penghidupan yang ia hadapi. “Saya paling takut kalau punya hutang,” prinsipnya.
Doktor yang Hafidz Qur’an
Buah keteguhan hati dan kerja keras yang diiringi doa pada Sang Kuasa, akhirnya membuahkan hasil. Sa’adah mampu mengantarkan anak-anaknya menjadi orang-orang berilmu. Dua di antaranya bahkan meraih gelar doktor, DR Mu’inudinillah Basri, MA (putra kedua) dan DR Setiawan Budi Utomo, MM (putra ketiga). “Alhamdulillah, semua ini berkat rahmat Allah. Kalau tidak, mana mungkin bisa. Apalagi kalau dihitung secara matematis,” ujarnya.
Rata-rata anak Sa’adah mendapatkan beasiswa ketika menempuh studi S1. Mu’in dan Budi bahkan mendapatkan beasiswa hingga ke jenjang S3. Mu’in dapat beasiswa sejak kuliah di LIPIA Jakarta. Berbekal prestasinya yang mengagumkan, selalu peringkat pertama, ia ditawari melanjutkan studi S2 di Saudi Arabia. Tak hanya S2, di negeri petro dolar itu pula Mu’in mendapatkan gelar doktornya. Demikian pula dengan Budi, semua jenjang pendidikannya, mulai dari S1 hingga S3 ditempuh dengan mendapatkan beasiswa.
Sa’adah memang lebih mementingkan pendidikan agama bagi anak-anaknya ketimbang pendidikan umum. Anak-anaknya ia sekolahkan di madrasah dan pondok pesantren. “Sejak dulu saya bercita-cita punya anak-anak yang jadi ulama,” katanya.
Ia pun mengarahkan mereka supaya belajar secara serius dan sungguh-sungguh agar mendapatkan beasiswa. Sa’adah sadar akan kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Oleh karena itu, ia meminta anak-anaknya tidak menyia-nyiakan kesempatan belajar.
Selain itu, alasan lain yang membuatnya lebih memilih pendidikan pesantren ketimbang pendidikan umum adalah ingin melihat anak-anaknya bisa menghafal al-Qur’an. Setiap malam, ketika shalat Tahajjud, Sa’adah selalu berdoa agar anak-anaknya bisa jadi hafidz (penghapal al-Qur’an). Doa Sa’adah dikabulkan Allah, empat anaknya berhasil hapal al-Qur’an. Mereka adalah Mu’inudinillah Basri, Setiawan Budi Utomo dan si kembar Ahmad Syaifuddin dan Ahmad Nurdin (almarhum). “Alhamdulillah, saya bersyukur karena doa saya dikabulkan,” ujar Sa’adah haru.
Menurut nenek tujuh belas cucu ini, hal terpenting yang ia tekankan pada anak-anaknya adalah tentang keseriusan dan kedisiplinan serta tidak melupakan shalat lima waktu. Hal inilah yang dapat mengundang rahmat dan berkah Allah Ta’ala.
Mujahid
Salah satu putra Sa’adah, Ahmad Nurdin menjemput syahid di bumi jihad, Ambon pada tahun l999. Nurdin berangkat ke Ambon ketika situasi sedang panas-panasnya, dimana pembantaian terhadap umat Islam tengah menjadi-jadi. Kuliahnya yang baru memasuki tahun kedua di LIPIA Jakarta ia tinggalkan demi membela saudara sesama Muslim. “Ia meminta izin pada saya mau membantu orang Islam di Ambon,” tutur Sa’adah mengenang kepergian putra bungsunya itu.
Dan ternyata, itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Ahmad Nurdin. Di tengah berkecamuknya perang, Nurdin terkena tembakan di beberapa bagian tubuhnya; di dada, perut dan paha. Tak lama tertembus peluru, lajang yang suka menolong orang itu pun menjemput syahid dan langsung dimakamkan lengkap dengan pakaian yang ia kenakan, tanpa dikafani. “Bau tubuhnya harum ketika akan dimakamkan. Itu yang dituturkan teman-temannya pada saya,” kata Sa’adah.
Hal inilah yang menguatkan dan menabahkan hatinya hingga tidak terlalu larut dalam kesedihan. Kata Sa’adah, “Mati syahid adalah cita-cita tertinggi setiap orang beriman. Dan anak saya bisa meraihnya.” Salah satu hal yang selalu terkenang di hati Sa’adah akan putranya itu adalah keistikomahan Nurdin yang selalu menjalankan puasa sunnah Senin-Kamis.
Sejak meletusnya kerusuhan di Ambon, Nurdin tidak pernah makan nasi. Ia hanya mengonsumsi sayuran. “Katanya, ia tidak mau makan nasi sebelum dapat memberikan bantuan kepada orang-orang Muslim di Ambon,” ujar Sa’adah mengulang kata-kata almarhum.
Hingga kini Sa’adah tidak pernah tahu dimana putra bungsunya itu dimakamkan. Namun ia mengaku ikhlas dan pasrah kepada Allah. Sebagaimana lazimnya kehilangan orang-orang terkasih, Sa’adah juga dilanda kesedihan, namun ia tak mau larut dalam duka. “Kepada-Nya kita semua akan kembali. Kalau diratapi juga tidak akan mengembalikan anak saya. Sudahlah, besok di akhirat juga kita akan bertemu.” ujarnya tabah.
Sa’adah merasa bangga dan bersyukur. Baginya, mati syahid tidak akan terjadi begitu saja. Dicari malah tidak ketemu, meski terus berperang dan berjihad. “Itu adalah takdir dan rahmat Allah,” ujarnya seraya mengisahkan panglima perang Islam, Khalid bin Walid, yang terus memburu syahid dalam perang, namun meninggal di atas tempat tidur.
Satu hal yang dipesankan Sa’adah. Jagalah lidah agar tidak mengeluarkan omongan yang tidak baik. Karena, kata Sa’adah, ucapan adalah doa.
Ia sering miris melihat orang lain mengatai anak-anaknya dengan kata-kata yang buruk ketika anak-anaknya berbuat nakal. “Saya sampai istighfar berkali-kali jika melihat hal demikian, karena saya sendiri tidak pernah mengatai anak-anak dengan sebutan yang buruk. Makanya, hati-hati kalau berkata-kata yang tidak baik pada anak-anak!” pesannya.
Sa’adah juga selalu mendidik anak-anaknya agar peduli dan berempati dengan penderitaan orang lain. Menurutnya, setiap memperoleh rezeki, kita harus sadar bahwa di situ ada hak orang lain. “Jangan eman (sayang) dalam membantu orang!” nasehat yang selalu ia sampaikan.

Rabu, 20 April 2011

Aku Menulis maka Aku Ada, dari Menulis Aku Jaga Agama

Aku menulis maka aku ada.
Setidaknya bolehlah sedikit merekonstruksi statement mbah Rene Descartes sang filsuf kebangsaan Perancis yang hidup pada abad ke-17 ini. Maklum, ini buka tulisan yang akan didaftarkan dalam perlombaan atau menjadi tugas akhir yang akan dibubuhi balutan koreksi yang cantik oleh dosen Writing saya. Dan...ini bukan tulisan yang akan berkiblat padanya, Rene Descartes. Jadi, saya punya freedom kan mau menulis apa saja! Tak ada inspeksi kan? Namanya menulis ya...menulis. Menurut kamus yang saya (sedang tidak) pegang, menulis itu artinya melahirkan(hah?), ehm, maksudnya melahirkan pikiran atau perasaan seperti mengarang dan atau membuat surat dengan tulisan.
Akan tetapi, menulis yang saya maksud di sini bukan menulis surat cinta alias surat cerita indah yang sementara yah...mending sibuk baca surat-Nya daripada nulis atau baca yang satu itu, ya nggak? Di sini saya ingin menguras sedikit-demi sedikit pentingnya menulis dalam taraf tulisan ilmiah yang Islami. Oh iya, perlu kita camkan baik-baik sebelum menelusuri kata-kata yang akan saya taburkan di bawah ini yakni menulis itu memang penting, sangat penting. Okelah... besok kan deadline, jadi nulis itu penting, banget malah!Pertarungan hidup dan mati! Unbelievable A or miserable E! Eits, gak gitu donk, maksudnya jangan dibawa ke situ lah... Emang penting sih di saat yang satu itu, tapi itu rahasia antara kita dan guru atau dosen kita. Biar Allah dan kita yang tahu. Hehe. Baiklah, Anda pasti akrab dengan sebuah kitab yang penuh mahabbah dan pesan-pesan mahabbah di dalamnya. Lagi-lagi bukan surat cinta ya, atau katakanlah surat cinta...tapi bukan yang ecek-ecek seperti yang lumrah ditemukan itu. Ini adalah kitabullah, untaian firman-Nya yang murni dan akan terjaga sepanjang masa. Sebagaimana yang saya jaring dari situs Ma’had Salafiyah Pasuruan bahwa dalam Islam, budaya tulis-menulis adalah hal yang sudah tertanam dalam tubuh masyarakat Arab dan telah ada sejak sebelum diutusnya Rasulullah Shallallaahu’alaihi wasallam, artinya, ketika Islam telah dikenalkan, telah disambut oleh minat tulis-menulis yang tinggi. Hasilnya, dalam artikel di situs tersebut menuliskan bahwa Rasulullah menyiapkan 60 sekrestaris pribadi yang diantaranya 40 sekretaris yang selalu berjaga-jaga untuk menyambut wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Kemudian terjadi perkembangan dari penulisan mushaf yang terpisah-pisah menjadi mushaf yang komplit dan teratur yang dinamai mushaf Imami. Dan mushaf inilah yang akhirnya diedarkan hingga saat ini. Coba Anda bayangkan jika aktivitas penulisan tak pernah dikenal, paling tidak anda harus ikhlas kerepotan dalam mengenal Islam, agama kita, sebab harus menemui orang yang mampu menghafalkan al Quran dan mendiktekannya kepada kita dan kita akan ‘terpaksa’ menghafalkan semuanya yang kemungkinan akan segera kita lupakan, dan sebagainya dan seterusnya, dan....intinya cukup tidak bisa terbayangkan bagaimana jadinya tanpa ‘menulis’. Maha Suci Allah akan karunia tulisan dan kemampuan menulis ini. Akan tetapi, wallahua’lam, tentunya Allah mempunyai cara lain untuk menyampaikan hidayah keIslaman kepada untuk hamba-hamba-Nya.
Berikutnya, pasti kita tidak asing dengan dinasti Abbasiyah, yakni dinasti yang bisa dikaitkan dengan gelar peradaban emas yang salah satunya ditandai dengan kemajuan bidang ilmu pengetahuan yang melahirkan tokoh-tokoh ternama antara lain Al Kindi dan Abu Nasr al-Faraby, walaupun akhirnya peradaban ini runtuh karena sebab yang cukup krusial yang tidak akan saya tuliskan di sini. Peradaban ini ditandai dengan minat penulisan yang sangat besar, kontras dengan keadaan dinasti Umayyah saat itu, dimana khalifah al Ma’mun dengan senang hati memberikan upah 500 dinar kepada setiap penerjemahan, termasuk menerjemah dari buku-buku Eropa dan Afrika. Patut diketahui bahwa tradisi intelektual dan budaya riset telah menjadi selimut kehidupan masyarakat saat itu, dan hal ini didukung pula oleh kebijakan politik pemerintah yang tidak segan-segan menyediakan sarana bagi pelaku-pelaku aktivitas keilmuan tersebut. Hasilnya berdampak pada kemajuan ilmu pengetahuan yang tentunya, perlu ditekankan, senantiasa bersandar pada Al Qur’an dan sunnah. Semua ini tentunya berhubungan dengan penulisan, ya, lagi-lagi menulis.
Sedangkan tulis-menulis mulai dikenal di Indonesia sejak abad ke 19, yakni sejak masuknya Islam ke Indonesia. Kedua nama penulis yang ternama pada masa tersebut yakni Syekh Nawawi Banten dan Khotib at-Turmusi, yang dikenal dari kitab-kitab yang ditulisnya yang sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami orang awam. Karya-karya besar Syekh Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya terpola dari Mesir, terbagi ke dalam tujuh kategori, yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang mampu ditulisnya ke dalam beberapa kitab, kecuali bidang tafsir yang ia tulis dalam satu kitab. Berangkat dari zaman ini, Indonesia menampakkan diri sebagai negeri penulisan dan negerinya para penulis, walaupun tidak dipungkiri bahwa ia masih tergolong kurang produktif dibanding negara-negara lain yang juga negara yang dihuni penulis handal. 
Penting untuk disadari, budaya tulis-menulis adalah budaya kita, budaya umat Islam sejak dahulu. Jika kita mengenal KH. Musthafa Bisri, M.H. Ainun Najib, dan Agus Musthafa di Indonesia, atau mungkin Harun Yahya yang merupakan tokoh dari Turki, bukankah mereka dikenal lewat tulisan? Lantas, siapakah berikutnya?Anda?Saya? Kita?
Aku menulis maka aku ada, kita menulis maka kita ada, dari menulis kita kenal agama, dari menulis kita menjaga Agama, dan dari menulis kita pertahankan eksistensi kita. InsyaAllah.

Senin, 18 April 2011

Link download emotional qur'an recitation

assalaamu'alaikum..

berikut adalah link-link untuk mendownload emotional qur'an recitation:
http://ia600300.us.archive.org/12/items/EmotionalRecitationBySheikhShuraim/SurahTaha113-135_64kb.mp3
http://dc160.4shared.com/img/68966290/fb185106/dlink__2Fdownload_2FyIQivzqu_3Ftsid_3D20110418-062018-444380b8/preview.mp3
http://ia600300.us.archive.org/12/items/EmotionalRecitationBySheikhShuraim/SurahAleImran181-187_64kb.mp3
http://ia600300.us.archive.org/12/items/EmotionalRecitationBySheikhShuraim/SurahAlAraaf100-137_64kb.mp3
http://www.bursalagu.com/download-mp3/NHNoYXJlZC5jb20.-eUlRaXZ6cXUvRW1vdGlvbmFsX1JlY2l0YXRpb25fU3VyYWhfQWxf-emotional_recitation_surah_al_araf_to_by_sheikh_saud_ash_shuraim.html

silahkan didownload.....
semoga bermanfaat,