Senin, 20 Desember 2010

Sang Batu Pondasi



  Kehidupan diwarnai oleh berbagai macam karakter manusia. Sedangkan ragam karakter memicu berbagai ragam persepsi akan karakter tersebut. Ada segolongan manusia yang biasa mendapat cap yang salah dari masyarakat, yakni mereka yang tindakannya barangkali berbeda dengan manusia lain pada umumnya.
  Sesungguhnya ada golongan yang Allah sangat mencintainya, yakni orang-orang yang begitu bertakwa dan berbakti, yang mana jika tidak ada di tempat, maka tidak dicari; jika pun ada, maka tidak dipedulikan bahkan mungkin tidak dikenal; namun mereka laksana lampu-lampu petunjuk, meskipun mereka muncul dari tiap-tiap tempat yang berdebu lagi gelap.  Manusia di sekelilingnya, termasuk kita mungkin beranggapan buruk terhadap mereka, bahwa mereka itu tidaklah memberi andil apa-apa atau bahkan tidak berarti apa-apa. Maka di sini perlu kita perjelas kedudukan mereka, agar tercipta rasa saling menghargai dan memahami.
   Pernahkah anda terpaku menyaksikan suatu bangunan, entah itu gedung perkantoran atau rumah yang dihiasi begitu banyak ornamen yang megah dan indah?, apa yang paling pertama kali terlintas dipikiran anda? Atau apa yang pertama kali menjadi pusat perhatian anda pada bangunan itu? Mungkin tiang-tiangnya yang terukir cantik, atapnya yang tersusun rapi, catnya yang bergradasi sempurna, atau desain keseluruhannya yang menakjubkan. Jika anda menjawab iya pada salah satu atau semua pilihan tersebut, maka itu hal yang sangat wajar dan biasa. Tapi, pernahkah terlintas dalam pikiran anda akan batu pondasinya? Saya sendiri, mengatakan jarang, bahkan sebagian dari kita mungkin mengatakan, itu tidak penting. Kenapa?, karena ia tidak kelihatan, atau yang lainnya lebih mendominasi. Di sinilah jiwa kita, sang hakim yang (kadang) terlalu semena-mena, perlu disadarkan.
   Sebuah bangunan, betapapun indah dan kokohnya, tidak akan berdiri seperti itu jika tanpa pondasi, tepatnya jika dihilangkan batu pondasinya, meskipun hanya satu.  Tahukah anda, batu pondasi itupun adalah batu-batu pilihan yang kuat dan padat, hanya saja ditempatkan di bagian bawah?, begitupun halnya orang-orang yang sering dianggap tidak memiliki andil, dalam suatu badan organisasi, maupun kehidupan sehari-hari. Mereka ibarat batu pondasi, yang tidak dikenal, tidak dikagumi, atau bahkan dianggap tidak penting atau tidak ada, namun sesungguhnya mereka memiliki kontribusi yang luar biasa, meski tidak tampak secara nyata, yang mana jika ia tidak ada; maka terjadi suatu ketimpangan dengan atau tanpa kesadaran orang-orang di sekelilingnya.
    Patut kita sadari, tidak seharusnya pandangan sebelah mata diarahkan kepada mereka. Bisa saja dalam diamnya, ia lelah menopang semua, namun semua itu menjadi ke-diam-an dan berujung pada aduan kepada Rabb-nya; bisa saja ketika kawannya berada dalam suatu masalah, dalam kesendiriannya ia berdoa dengan tulus kepada Rabb-nya agar masalah itu terselesaikan dan dimudahkan; bisa saja dalam ketidak-ikut-sertaannya, ia telah menyiapkan yang perlu disiapkan dan mengerjakan yang perlu dikerjakan demi kelancaran hal yang ditinggalkannya; dan bisa saja dalam dadanya tersembunyi hati yang tulus yang mana tidak pernah punya keinginan untuk bekerja demi si fulan, atau supaya terlihat orang atau karena sekelompok orang, atau untuk memperoleh suatu harta duniawi, tetapi ia bekerja hanya untuk memperoleh ridha Rabb-nya semata; bisa saja dalam “penampilan lemahnya” ialah yang tampil ke depan di saat orang-orang lain enggan, dan menunjukkan keteguhan disaat orang lain terpeleset, dan bersabar saat orang lain mengeluh, dan bersikap bijak saat orang lain bertindak ceroboh, dan tetap memaafkan dikala hak-haknya tertindas orang.
    Merekalah, sang batu pondasi, yang mungkin sering dipandang remeh oleh sebagian dari kita dan masyarakat yang lain. Padahal sebenarnya kita tidak tahu betapa luhur kedudukan saudara kita itu di sisi Allah ta’ala, yang mana doanya lebih didengarkan dari kita, keringatnya lebih banyak terkuras daripada kita, air matanya lebih banyak menetes daripada kita, dan hamparan sajadah malamnya lebih sering daripada kita.
    Sebagai penutup, adalah harapan yang sangat besar kepada kita, agar tidak memandang remeh mereka, atau memandang mereka sebagai yang berderajat lebih rendah. Sebab, barangkali merekalah yang benar-benar memahami nasihat dari sahabat abdullah bin mas’ud radiyallahu’anhu dalam kitab shifatush-shafwah, “jadilah kamu sekalian sumber-sumber ilmu, pelita-pelita petunjuk, para penunggu rumah, lampu-lampu di malam hari, yang hatinya senantiasa baru, dan berpakaian usang, niscaya kamu terkenal di kalangan penduduk langit, meskipun kamu tersembunyi di kalangan penduduk bumi”

Wallahua’lam...

Embun pagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar