Selasa, 07 Desember 2010

Perjuangan Mempertahankan Mahkota (bag. 2)

(Renungan bagi yang berada pada masa kesempatan utk berjilbab sudah diberi kelonggaran namun ia belum juga merealisasikannya, lihatlah perjuangan saudari kita... betapa sulit langkah-langkahnya demi mempertahankan jilbab...)

Kami, pelajar yang memakai jilbab, dilarang masuk kelas untuk mengikuti pelajaran kecuali jika kami mau melepas jilbab. Tidak heran, sebab kepala sekolah kami memang seorang Nasrani, yang tentunya tidak kita ragukan lagi permusuhannya kepada kita. Keadaan sekolahku menjadi heboh. Ada pro dan kontra dari para siswa maupun para guru. Para siswa yang pro jilbab dan menaruh simpati kepada kami turut memberikan dukungan moral dan do’a kepada kami. Sedangkan yang kontra, mereka menghina dan melecehkan kami. Kami dianggap sebagai kelompok ortodok, kolot dan suka membuat huru-hara. Berita sekitar pro kontra tentang jilbab di sekolah kami akhirnya meluas. Sehingga sempat menjadi berita nasional dan diliput oleh beberapa media massa nasional pada tahun ’90-an yang lalu. Tapi kami terlanjur melangkah dan tidak sanggup mundur untuk menghentikan langkah, karena kami yakin kebenaran ada pada kami. Dan kami yakin akan pertolongan Alloh yang begitu dekat. Kami lebih takut kepada adzab Alloh daripada ancaman, gertakan dan hinaan dari pihak-pihak yang tidak suka kepada kami.
Beberapa waktu berlalu, kami tetap dalam status yang tidak jelas. Terombang-ambing. Tetapi kami terus memperjuangkan jilbab kami. Kami berusaha mencari dukungan moral ke tempat ustadz-ustadz di Surabaya dan juga di Bangil. Akhirnya, untuk tetap mempertahankan jilbab kami, tidak ada pilihan lain kecuali harus mencari sekolah yang mau menerima kehadiran kami. Iya. Kami harus pindah sekolah.
Ternyata cobaan belum berakhir. Ayahku tidak mengizinkan aku pindah sekolah. Apalagi pindah ke sekolah swasta yang menjadi ‘momok’ bagi keluarga kami selama ini. Ayahku marah sekali kepadaku. Aku menyadari mengapa beliau marah. Aku tetap berusaha berbuat baik kepada beliau. Aku selalu berharap dan berdo’a agar suatu saat ayahku memahami jalanku ini.
Dan… pertolongan Alloh itu dekat sekali. Alhamdulillah, aku bersyukur sekali karena akhirnya ayahku mengizinkanku pindah sekolah meski dengan syarat jatah bulanan tetap seperti ketika di SMA negeri. Padahal biaya SPP maupun iuran yang lain di sekolah swasta lebih banyak. Tapi itu semua tidak merisaukanku. Aku bisa menyiasatinya dengan cara lebih berhemat dalam menggunakan uang belanja, dan dengan memasak sendiri.
Akhirnya aku benar-benar pindah sekolah untuk mempertahankan jilbabku. Dari sekolah favorit ke sekolah swasta. Kecewa? Tidak! Bahkan aku merasa bahagia karena dengan izin Alloh aku mampu mengalahkan hawa nafsu dalam menapaki jalan menuju ridho-Nya.
Hari-hari pertama masuk di sekolah baru ternyata cukup membuatku tersentak kaget. Di depan kelas aku diam termangu melihat pemandangan yang sama sekali tidak kubayangkan sebelumnya. Aku mengira anak laki-laki dan perempuan duduk terpisah. Tapi apa? Hampir setiap bangku diduduki oleh dua anak, yaitu laki-laki dan perempuan. Aku jadi bingung mau duduk di mana. Alhamdulillah, guru yang mengajar saat itu tanggap. Beliau menyuruh anak laki-laki yang duduk di depan sendiri untuk pindah ke belakang, sehingga aku bisa duduk dengan anak perempuan di bangku paling depan. Alhamdulillah, aku selamat dari ujian pertama. Yang aneh juga, walau di sekolah baruku anak-anak perempuan memakai jilbab, tetapi rok mereka masih pendek. Sehingga, kalau ada yang bertanya mana anak yang baru, maka gampang sekali menjawabnya, yaitu yang roknya panjang sekali.
Mulailah aku sibuk menekuni pelajaran-pelajaran baruku yang ternyata membuatku senang sekali karena banyak materi keislamannya.
Kira-kira dua pekan kemudian, aku mendengar berita yang sangat mengejutkan. Ternyata masalah kami belum selesai. Ujian Alloh yang lebih besar datang lagi. Ada empat ikhwan yang dulu menjadi pendukung kami dalam kasus jilbab dipanggil menghadap ke KODIM. Entah siapa yang melapor, kami tidak tahu. Yang pasti, mereka adalah orang-orang yang benci kepada kami dan memberikan laporan sepihak yang sangat merugikan kami. Akibatnya, kami dianggap sebagai pengacau ketertiban dan keamanan. Allohul Musta’an.
Dan tak kuduga, ternyata aku juga mendapat giliran dipanggil ke KODIM. Sejenak terbersit rasa takut dalam diriku. Tetapi aku segera sadar, masih ada Alloh yang menjadi Pelindungku.
Saat itu aku sedang di rumah karena sakit. Surat panggilan itu datang ke rumahku diantar aparat desa. Yang membuatku kaget, surat itu tiba di rumahku sekitar jam 12 malam. Ayahku juga kaget sekali. Beliau menjadi semakin marah kepadaku (Maafkan aku Ayah, yang selalu menyusahkanmu). Yang kusayangkan, mengapa surat itu datang pada waktu tengah malam sehingga membuat ayahku benar-benar kaget.
Esok harinya, dengan penuh keyakinan akan datangnya pertolongan Alloh, aku berangkat ke KODIM sendirian. Aku harus naik bus untuk bisa sampai ke sana. Sampai di sana, aku diterima petugas jaga dan diantar ke ruang intel. Aku merasa bagaikan seorang prajurit yang masuk ke sarang musuh. Aku berdo’a dan terus berdo’a, mengharap limpahan kasih sayang Alloh kepada hamba-Nya yang lemah ini. Kemudian aku dihadapkan kepada petugas intel yang siap dengan berbagai macam pertanyaan. Aku berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu semampuku. Kadang aku juga ditodong dengan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkanku. Kalau sudah begitu, aku cuma diam. Alhamdulillah, mereka tidak menyakiti diriku sebagaimana yang mereka lakukan terhadap empat ikhwan teman seperjuanganku. Mereka menanyaiku dengan gertakan dan bentakan, tidak sampai menyakitiku. Tapi sekali lagi semua ini akibat dari laporan yang memojokkan kami itu.
Aku merasa waktu berjalan pelan sekali. Interogasi itu terasa sangat panjang dan sangat melelahkan, karena memang pada saat itu aku dalam keadaan sakit. Akhirnya… hampir Maghrib aku baru diperbolehkan pulang. Aku pulang ke rumah dan harus siap menerima kemarahan ayahku lagi. Sejak itu ayahku mendiamkanku. Jarang sekali beliau mau berbicara denganku. Beliau benar-benar kecewa kepadaku.
Ketika aku masuk kembali ke sekolah, setelah sembuh dari sakit, aku dipanggil menghadap ke kepala sekolah. Teman-temanku merasa takut karena beliau terkenal keras dan disiplin. Tapi aku tidak takut, karena aku tidak merasa bersalah. Dan ketika aku sudah menghadap kepada beliau, ternyata masalah yang beliau sampaikan adalah berkenaan dengan pemanggilanku ke KODIM. Ternyata surat panggilan dari KODIM itu sebelumnya sudah diantar ke sekolahku. Karena aku tidak masuk, akhirnya surat itu diantar ke rumahku. Aku banyak dinasihati oleh kepala sekolah dan beliau tidak marah kepadaku.
Kurang lebih dua bulan kemudian, ada berita yang sangat membahagiakan. SK pembolehan siswi memakai jilbab di sekolah turun. Teman-temanku yang tidak ikut pindah meminta agar aku kembali ke sekolah asal. Aku hanya tersenyum. Jelas itu tidak mungkin. Justru sekolah baruku itu merupakan ladang dakwah yang siap kujalankan sehingga aku tidak merasa sedih walau tidak bisa kembali ke sekolah negeri.
Selepas SMA aku tidak ingin kuliah. Aku lebih memilih masuk pondok pesantren untuk memperdalam ilmu agamaku. Hingga aku dinikahi oleh seorang ikhwan yang juga telah siap bersama-sama menjalani rumah tangga islami seperti yang ku idam-idamkan. Kini, jihadku beralih ke rumah suamiku. Empat jundiku merupakan ladang jihad yang tiada henti bagiku. Harapanku, semoga aku tetap istiqomah sampai akhir hayatku bersama suamiku, dan semoga jundi-jundiku menjadi generasi penerus kami dalam mengemban tugas dakwah ini.
Salam untuk semua ikhwan dan akhwat yang terkait dengan kasus jilbab ’90.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar