Kamis, 02 Desember 2010

Dari Seorang Hamba Yang Zero



Masih belum hilang dari ingatan, suatu waktu dalam kesendirianku. Saat itu sudah larut malam, namun jantung si kota metropolitan, Jakarta, belum juga berhenti berdenyut, malah semakin kencang. Aku menyandarkan punggung pada dinding bercat putih, mengeja penat satu per satu selepas hari sibuk, yakni Jumat. Sekarang sudah malam sabtu, pada waktu seperti ini aku sudah tak asing dengan yang namanya sendiri di rumah kos, tak ada siapa-siapa. Setiap hari Jumat, teman sekamar dan “tetangga” mudik mingguan. Tinggallah aku dan netbook pink kesayangan yang setia mendengarkan, lebih tepatnya mengumpulkan semua uneg-uneg kuliahku yang kadang tak berujung, bahkan tak jarang ia hanya dipandangi tanpa disentuh, sekedar menyadari kalau ia menemaniku saat aku galau dalam “kegagalanku”.
Hampir tiap kali dalam kesendirian seperti ini, aku kembali menyusuri anak tangga yang kupijak hingga aku mampu berdiri di atas kota orang yang penuh sesak ini demi amanah yang dititipkan Allah padaku berupa kesempatan menuntut ilmu. Setelah dihitung-hitung, ternyata belum begitu lama, yakni saat aku masih berstatus akhwat berpakaian putih abu-abu di tanah kelahiranku tercinta, di salah satu sekolah yang cukup ternama di kabupaten Soppeng, Sulawesi selatan. Saat itu, aku benar-benar menikmati yang namanya belajar. Alhamdulillah...prestasi demi prestasi tidak bosan bosannya mengantri, piagam-piagam penghargaan pun tidak mau kalah. Aku benar-benar merasa sebagai seorang jenius. Apalagi ditambah dengan pujian dari saudara, guru, dan teman-teman, ah, keangkuhan naluriku semakin membubung tinggi. Saat itu, dengan balutan putih abu-abu yang aku banggakan, hanya satu kata yang begitu bijak untuk mewakili figurku, “Hero”. Satu kata itu menempel kuat di otakku. Aku merasa itu sudah cukup untuk menjadi pondasi dalam meraup ilmu serta prestasi di kota sejuta suku, Jakarta.
Namun ironisnya, ibarat melihat dunia dengan kepala terbalik, satu per satu kebanggaan dan semangat antik itu pamit saat aku memijak kota ini. Kenyataan benar-benar membantingku. Kegagalan demi kegagalan mulai berjejal. Aku melalui tahun pertama kuliah dengan kondisi ibarat zombie, tanpa nyawa lagi, yang ada hanyalah depresi dan perasaan asing dengan rutinitas. Bukan apa-apa, tak ada lagi pujian, tak ada pula motivasi dan prestasi yang dulunya mengantri; semua itu bermanuver menjadi berbagai kesulitan yang kadang menyesakkan, semua orang serasa berlari sedangkan aku merangkak, semua serasa melayang di atas bumi sedangkan aku berjalan di lembah. Aku benar-benar tidak bisa menerima kenyataan itu, ya, hati kecilku sebenarnya sudah memberi tanda-tanda, “aku kalah, aku tidak kompeten, dan lebih parah lagi... Aku tersiksa keinginan untuk pulang!, benar, aku ingin pulang ke tempat di mana aku selalu menjadi yang terbaik!” Namun aku tidak “tega” mengakuinya.
Hingga suatu waktu, seorang saudari  meminjamkan sebuah buku yang judulnya cukup familiar di telingaku. Cetak emboss di covernya cukup menarik, ia memiliki representasi makna tersendiri, namun belum mampu merebut perhatianku sepenuhnya. Akhirnya ia menjadi penghias rak mejaku saja. Namun, entah mengapa, setiap kali mataku tertuju padanya, seolah ada panggilan hati untuk menjelajahi setiap halamannya. Dan, benar, suatu malam ba’da isya aku “memaksa” diri untuk membaca buku yang berukuran kecil itu, dan yang tidak kuduga sebelumnya, paragraf demi paragrafnya ternyata berani menghentakku...namun ia tak sekedar melakukan itu, berangsur-angsur ia menumbuhkan pucuk-pucuk tunas baru di lahan yang tadinya tandus, ya, hatiku, yang kemudian menyemaikan musim semi di dalamnya... Subhaanallaah.
 “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur
Itulah yang tertera dalam Kitabullah yang selalu terjaga sepanjang zaman, Al-Qur’an surah An Nahl ayat 78, yang ditulis ulang di bagian “Inspirasi Dahsyat” dari buku yang kubaca. Amat sangat tidak salah jika ayat itu dikategorikan sebagai inspirasi dahsyat. Nyatanya, aku adalah yang zero dalam apapun, terlahir tanpa ilmu, bahkan tanpa apa-apa, namun Allah-lah yang memberiku semua, hingga aku wajib menyadari, Dia pula-lah yang menggenggamnya. Dia-lah yang berhak mengatur tetap ada atau tidaknya ni’mat dan karunia yang telah dipinjamkan kepadaku itu. Lantas, kesombongan apa dan yang bagaimana yang bisa kubawa?...jika bahkan kesombongan itu sendiri pun milik Allah!
Apa yang telah kuandalkan, yakni kepopuleran dan pujian, demi Allah, kepopuleran bukanlah jaminan, begitu halnya pujian bukanlah bahan bakar semangat yang hakiki; bahkan sekedar menimpakan mudharat yang berakibat fatal. “Sungguh banyak yang bunuh diri karena terpenjara oleh puja-puji,” demikian kalimat indah yang kuperoleh dari buku kecil berbobot itu. Amat sangat kasihan orang yang “hidup” dari pujian hingga “mati” karena celaan, ia berbahagia sebab kesuksesannya namun merana seiring kegagalannya. Bukankah kesemuanya adalah ujian; pujian dan celaan, kesuksesan dan kegagalan, namun pujian serta kesuksesan bisa jadi merupakan senjata ampuh sang la’natullah untuk menggelincirkan kaki, sedangkan celaan dan kegagalan bisa menjadi guru yang paling bijak dalam kehidupan. Selain itu, mesti dipahami, keinginan untuk selalu dikenal manusia bisa jadi sumber petaka, sedangkan ada yang jauh lebih mengagumkan yakni obsesi untuk dikenal penduduk langit; sebab ia bisa menjadi penukar syurga. Apalah arti pujian dunia! Jika langit belum memuji! Apa artinya kata “ya” dari manusia jika Allah berkata “tidak”.
Berkaitan dengan kegagalan, yang mana ia sebagai bagian dari derita, saya teringat perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah yang begitu menyejukkan, yakni:
Di antara sempurnanya nikmat Allah pada para hamba-Nya yang beriman, Dia menurunkan pada mereka kesulitan dan derita. Disebabkan derita ini mereka pun mentauhidkan-Nya (hanya berharap kemudahan pada Allah, pen). Mereka pun banyak berdo’a kepada-Nya dengan berbuat ikhlas. Mereka pun tidak berharap kecuali kepada-Nya. Di kala sulit tersebut, hati mereka pun selalu bergantung pada-Nya, tidak beralih pada selain-Nya. Akhirnya mereka bertawakkal dan kembali pada-Nya dan merasakan manisnya iman. Mereka pun merasakan begitu nikmatnya iman dan merasa berharganya terlepas dari syirik (karena mereka tidak memohon pada selain Allah). Inilah sebesar-besarnya nikmat atas mereka. Nikmat ini terasa lebih luar biasa dibandingkan dengan nikmat hilangnya sakit, hilangnya rasa takut, hilangnya kekeringan yang menimpa, atau karena datangnya kemudahan atau hilangnya kesulitan dalam kehidupan. Karena nikmat badan dan nikmat dunia lainnya bisa didapati orang kafir dan bisa pula didapati oleh orang mukmin. (Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, 10/333)
Subhanallah, subhanallah!, sebenarnya sudah sangat jelas hikmah yang ada dalam hidup ini, namun ia biasanya terhalang karena hati yang berkabut.
Saat tibanya aku pada bab Start from Zero, halaman demi halaman aku buka, dan setiap halaman seolah menikamku, tepat di tengah-tengah ketidak-berilmuanku. Aku hanya bisa menuturkan lirih, berulang-ulang, laa’ilaaha’illaa anta subhaanaka innii kuntum minadzdzaalimiin! Apa yang aku bawa dan apa yang aku cari, semua jauh dari jalan menuju Allah. Aku merenung lama, benar-benar selama ini langkahku buram. Aku tidak mampu melihat dengan terang. Kesombongan, dan egoisme terhadap keadaan; tepatnya na’udzubillah...penolakan terhadap ketentuan Allah dan lupa pada-Nya, pernah mendominasiku. Sungguh aku benar-benar hamba yang zhalim.
Perlahan aku menutup buku itu, aku termenung sejenak memandangi setiap sisinya. Ada banyak makna yang dapat aku ambil di semua rangkaian katanya. Setiap sudut pandang memiliki makna yang masing-masing luar biasa...
Langit biru mengiringi keterjagaanku keesokan harinya. Cinta meliputiku, begitu pula ke-zero-an menyadarkanku akan ke-hero-an diriku. Aku merasa zero untuk kesombonganku, aku zero dalam angan-angan abstrakku, aku zero dalam ilmu, aku zero dalam amal, aku zero dalam harta, namun... Sebab zero itu...aku (insyaallah)menjadi hero dalam tawakkal ‘ilallah, aku hero dalam ikhtiar karena-Nya, aku hero dalam cinta kepada-Nya, aku hero dalam mengejar ilmu dari dan untuk-Nya, begitu pula aku hero dalam raja’ pada rezeki-Nya, subhaanallah...! Subhaanallah...!, setelah hampir setahun aku melewati kehidupanku, baru sekarang angin segar menghampiriku, semakin aku menyadari zero-ku, maka semakin gelar hero meliputiku...seperti perumpamaan bahwa sesuatu itu barulah bisa terisi penuh hanya jika ia kosong...,dan sesuatu hanya akan dikatakan ada jika sebelumnya ia tak ada kemudian diadakan...
Hari pertama aku kembali ke kampus setelah liburan, aku melangkah masuk ke halaman belakangnya, angin pagi yang masih membawa spirit dhuha’ membelaiku dari segenap arah, aku berkata-kata dalam hati...
”Allah...inilah yang Engkau pilihkan untukku, aku adalah zero, namun aku tak ingin pulang pada-Mu dengan keadaan zero. Insyaallah untuk-Mu dan karena-Mu aku kan jadi hero demi syukurku atas anugerah-Mu...sebab syurga diisi oleh orang-orang yang “tidak zero”.”
“Namun Allah...
Biarkan dalam hidupku aku zero dalam kekayaan, aku zero dalam ketenaran, aku zero dalam pangkat, jika semua itu hanya menjauhkanku dari-Mu.
Namun izinkan aku selalu menjadi hero-Mu; hero untuk dien-Mu, untuk menuju-Mu, untuk cinta-Mu, dalam mengejar ilmu-Mu, dan menggapai syurga-Mu.”
Aku melangkah dengan senyum raja’ dan tawadhu’...
Kutatap sejenak buku kecil itu, terlihat lagi emboss judul yang berkilau dengan silvernya, sebagaimana kembalinya semangat yang sama kilauannya,  Zero to Hero, kuucap judulnya bersamaan dengan syukur pada Allah, tak lupa kuselipkan haturan terima kasihku pada penulisnya, akhi Solikhin Abu Izzudin atas ilmu yang disalurkannya, dan untuk saudariku yang telah memperkenalkan buku itu padaku.

Angin dhuha’ kembali menyeruak, mengucapkan selamat atas terlahirnya aku kembali...

Laahaula walaa quwwata illaa billah...



Fitriani
Memorial September 2010
(Lakukan karena Allah, maka semua kan jadi indah...)


Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar