Rabu, 20 April 2011

Aku Menulis maka Aku Ada, dari Menulis Aku Jaga Agama

Aku menulis maka aku ada.
Setidaknya bolehlah sedikit merekonstruksi statement mbah Rene Descartes sang filsuf kebangsaan Perancis yang hidup pada abad ke-17 ini. Maklum, ini buka tulisan yang akan didaftarkan dalam perlombaan atau menjadi tugas akhir yang akan dibubuhi balutan koreksi yang cantik oleh dosen Writing saya. Dan...ini bukan tulisan yang akan berkiblat padanya, Rene Descartes. Jadi, saya punya freedom kan mau menulis apa saja! Tak ada inspeksi kan? Namanya menulis ya...menulis. Menurut kamus yang saya (sedang tidak) pegang, menulis itu artinya melahirkan(hah?), ehm, maksudnya melahirkan pikiran atau perasaan seperti mengarang dan atau membuat surat dengan tulisan.
Akan tetapi, menulis yang saya maksud di sini bukan menulis surat cinta alias surat cerita indah yang sementara yah...mending sibuk baca surat-Nya daripada nulis atau baca yang satu itu, ya nggak? Di sini saya ingin menguras sedikit-demi sedikit pentingnya menulis dalam taraf tulisan ilmiah yang Islami. Oh iya, perlu kita camkan baik-baik sebelum menelusuri kata-kata yang akan saya taburkan di bawah ini yakni menulis itu memang penting, sangat penting. Okelah... besok kan deadline, jadi nulis itu penting, banget malah!Pertarungan hidup dan mati! Unbelievable A or miserable E! Eits, gak gitu donk, maksudnya jangan dibawa ke situ lah... Emang penting sih di saat yang satu itu, tapi itu rahasia antara kita dan guru atau dosen kita. Biar Allah dan kita yang tahu. Hehe. Baiklah, Anda pasti akrab dengan sebuah kitab yang penuh mahabbah dan pesan-pesan mahabbah di dalamnya. Lagi-lagi bukan surat cinta ya, atau katakanlah surat cinta...tapi bukan yang ecek-ecek seperti yang lumrah ditemukan itu. Ini adalah kitabullah, untaian firman-Nya yang murni dan akan terjaga sepanjang masa. Sebagaimana yang saya jaring dari situs Ma’had Salafiyah Pasuruan bahwa dalam Islam, budaya tulis-menulis adalah hal yang sudah tertanam dalam tubuh masyarakat Arab dan telah ada sejak sebelum diutusnya Rasulullah Shallallaahu’alaihi wasallam, artinya, ketika Islam telah dikenalkan, telah disambut oleh minat tulis-menulis yang tinggi. Hasilnya, dalam artikel di situs tersebut menuliskan bahwa Rasulullah menyiapkan 60 sekrestaris pribadi yang diantaranya 40 sekretaris yang selalu berjaga-jaga untuk menyambut wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Kemudian terjadi perkembangan dari penulisan mushaf yang terpisah-pisah menjadi mushaf yang komplit dan teratur yang dinamai mushaf Imami. Dan mushaf inilah yang akhirnya diedarkan hingga saat ini. Coba Anda bayangkan jika aktivitas penulisan tak pernah dikenal, paling tidak anda harus ikhlas kerepotan dalam mengenal Islam, agama kita, sebab harus menemui orang yang mampu menghafalkan al Quran dan mendiktekannya kepada kita dan kita akan ‘terpaksa’ menghafalkan semuanya yang kemungkinan akan segera kita lupakan, dan sebagainya dan seterusnya, dan....intinya cukup tidak bisa terbayangkan bagaimana jadinya tanpa ‘menulis’. Maha Suci Allah akan karunia tulisan dan kemampuan menulis ini. Akan tetapi, wallahua’lam, tentunya Allah mempunyai cara lain untuk menyampaikan hidayah keIslaman kepada untuk hamba-hamba-Nya.
Berikutnya, pasti kita tidak asing dengan dinasti Abbasiyah, yakni dinasti yang bisa dikaitkan dengan gelar peradaban emas yang salah satunya ditandai dengan kemajuan bidang ilmu pengetahuan yang melahirkan tokoh-tokoh ternama antara lain Al Kindi dan Abu Nasr al-Faraby, walaupun akhirnya peradaban ini runtuh karena sebab yang cukup krusial yang tidak akan saya tuliskan di sini. Peradaban ini ditandai dengan minat penulisan yang sangat besar, kontras dengan keadaan dinasti Umayyah saat itu, dimana khalifah al Ma’mun dengan senang hati memberikan upah 500 dinar kepada setiap penerjemahan, termasuk menerjemah dari buku-buku Eropa dan Afrika. Patut diketahui bahwa tradisi intelektual dan budaya riset telah menjadi selimut kehidupan masyarakat saat itu, dan hal ini didukung pula oleh kebijakan politik pemerintah yang tidak segan-segan menyediakan sarana bagi pelaku-pelaku aktivitas keilmuan tersebut. Hasilnya berdampak pada kemajuan ilmu pengetahuan yang tentunya, perlu ditekankan, senantiasa bersandar pada Al Qur’an dan sunnah. Semua ini tentunya berhubungan dengan penulisan, ya, lagi-lagi menulis.
Sedangkan tulis-menulis mulai dikenal di Indonesia sejak abad ke 19, yakni sejak masuknya Islam ke Indonesia. Kedua nama penulis yang ternama pada masa tersebut yakni Syekh Nawawi Banten dan Khotib at-Turmusi, yang dikenal dari kitab-kitab yang ditulisnya yang sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami orang awam. Karya-karya besar Syekh Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya terpola dari Mesir, terbagi ke dalam tujuh kategori, yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang mampu ditulisnya ke dalam beberapa kitab, kecuali bidang tafsir yang ia tulis dalam satu kitab. Berangkat dari zaman ini, Indonesia menampakkan diri sebagai negeri penulisan dan negerinya para penulis, walaupun tidak dipungkiri bahwa ia masih tergolong kurang produktif dibanding negara-negara lain yang juga negara yang dihuni penulis handal. 
Penting untuk disadari, budaya tulis-menulis adalah budaya kita, budaya umat Islam sejak dahulu. Jika kita mengenal KH. Musthafa Bisri, M.H. Ainun Najib, dan Agus Musthafa di Indonesia, atau mungkin Harun Yahya yang merupakan tokoh dari Turki, bukankah mereka dikenal lewat tulisan? Lantas, siapakah berikutnya?Anda?Saya? Kita?
Aku menulis maka aku ada, kita menulis maka kita ada, dari menulis kita kenal agama, dari menulis kita menjaga Agama, dan dari menulis kita pertahankan eksistensi kita. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar