Jumat, 26 November 2010

Umat Islam Dalam Degradasi Kebanggaan Beragama

Beberapa abad silam, dikenal sebuah peradaban terbesar di dunia. Kerajaannya sambung menyambung dari lautan ke lautan, menjangkau kawasan utara, tropis dan padang pasir. Di bawah kekuasaannya terdapat ratusan juta manusia dari berbagai agama, bangsa, dan keturunan. Salah satu bahasanya menjadi bahasa universal yang digunakan dalam percakapan sebagian besar manusia hingga saat ini. Perdagangan dan peradaban ini berkembang dari Amerika latin sampai ke negara Cina dan negara-negara di antaranya. Para pakar arsitektur dan sainsnya mampu membuka gerbang bagi kemegahan konstruksi arsitek, aljabar, alogaritma, enkripsi, bahkan astronomi. Didalamnya terlahir ribuan kisah dari para penulisnya yang handal. Itulah wajah Islam dalam kurung waktu 800-1600 Masehi.
Namun sayang, wajah itu tak kekal. Kita tidak perlu jauh-jauh melakukan agregasi faktornya, ada satu yang paling dominan, yang sudah sangat lazim terlihat sebagai hiasan(goresan) dalam konstruksi Islam, yakni ‘azmatu al-i’tidaz bid-diin, atau krisis kebanggaan dalam ber-Islam. Ketika dahulu Islam menjadi kiblat konsep HAM, persaudaraan sesama insan, revolusi dan perjuangan kemerdekaan, maka sekarang tersisa noda degradasi jati diri dan rendah diri yang secara halus menancap di ulu hati sebagian besar umat Islam. Setidaknya, ada unsur pengabaian terhadap firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 110, yakni, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan dari manusia, kamu menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kemungkaran dan kamu beriman kepada Allah.”
Di tengah gencarnya isme-isme yang menggerogoti secara global, Yahudi Eropa dan Inggris dengan “cetak biru” dari Balfour pledge serta revolusi PBB-nya mendirikan negara Yahudi di Palestina, yang imbasnya berupa kesengsaraan hidup bagi umat Islam Palestina. Sedangkan dapat disaksikan pembantaian dan kelaparan umat Islam di Kosovo akibat dari arogansi dengan alasan absurd. Lebih mengkerucut lagi, Islamic studies di berbagai perguruan tinggi tak lagi beraroma Islam, namun dengan framework liberalisme, bahkan materialisme yang telah lepas dari nilai ruhani. Faktanya, Islam benar-benar dalam kondisi lemah.
Umat Islam saat ini mudah kehilangan arah, bahkan tanpa sadar kaum intelektualnya pun tertelan bulat-bulat oleh budaya dan isme-isme asing, atau paling tidak, tinggal ruang kecil di pojok hati para umat Islam yang terisi oleh Islam. Akhirnya mereka lemah dan hancur. Alangkah tepatnya argumen Umar bin Al-Khattab yakni, “Kita merupakan satu golongan yang dimuliakan Allah dengan Islam. Apabila kita mencari kemuliaan dengan cara hidup yang lain daripada Islam, Allah akan menimpakan kehinaan kepada kita.” Maka benarlah, orang yang merasa mulia dengan Islam-nya akan selalu dimuliakan.
Dan patut diketahui sebagai pondasi pembangunan jati diri Islam, yakni perkataan Said Hawwa dalam kitab Al-Asas fit-Tafsir, bahwa “Nikmat yang paling besar yang dikaruniakan Allah kepada kita adalah ayat-ayat dan syariat-Nya. Itulah berlian yang kita perlukan. Apabila mengabaikan nikmat-nikmat ini, mereka menjadi golongan yang tersisih lagi terhina.”
Wallaahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Archive